Follow Us @nila_zulva

Minggu, 16 Juli 2017

Bukit Cumbri

PESONA BUKIT 638 MDPL [CUMBRI]


Beberapa hari telah beranjak dari hari kemenangan umat islam atau yang gampangnya disebut lebaran. Suasana lebaran yang ditandai dengan ramainya jalanan karena meningkatnya jumlah kendaraan yang lalu lalang lambat laun mulai berkurang. Kini, seminggu setelah lebaran biasanya akan ramai dengan acara halal bi halal keluarga besar diikuti dengan lebaran ketupat. Namun, dalam tulisan ini saya tidak akan membahas tentang kemeriahan lebaran, melainkan akan diulas mengenai agenda pasca lebaran yang seru dan menyenangkan.
Hari Minggu pagi yang cerah menyambut akhir pekan. Agenda silaturahmi ke tetangga dan sanak saudara telah rampung dua hari lalu. Saatnya berganti menyambut liburan. Pukul setengah 7 pagi saya telah selesai mandi dan bersiap-siap. Di depan televisi, sembari menunggu jemputan, kipas angin mini memutar baling-balingnya, menurunkan suhu sepiring nasi dan se-irus sayur lodeh yang masih mengepul. Kemarin, sepupu perempuan mengajak untuk mengunjungi sebuah bukit, dia mengatakan jam 7 pagi berangkat. Namun, hingga muatan piring telah tandas, si pengajak belum juga tiba. Waktu tentu tak ingin berhenti dan memang tak bisa berhenti, jarum jam telah menunjuk pukul 8. Ah... jadi ingat pepatah jawa becak rodo telu, kadung macak ra sido melu, haha... menyebalkan sekali! Gairah imajinasi berpetualang mendaki bukit mulai sirna. Hm... paling ora sido pikirku kecewa saat itu. Daripada menunggu tidak jelas, lebih baik menyapu lantai yang masih kotor, hehe... Selang beberapa menit kemudian, tiba-tiba suara khas motor matic terdengar berhenti di halaman rumah. Sebuah kepala terbungkus helm terlihat menyembul ke arah ruang tamu. Yeay! Sapu segera menari cepat agar lantai cepat bersih, semenit kemudian terlempar ke pojok ruangan.
Helm, tas, dan dompet telah siap, waktunya berangkat. Eits! Mampir dulu ke desa sebelah, ngambil hp yang kemarin tertinggal di rumah teman. Selanjutnya segera tancap gas kecepatan penuh, tapi tetap tak segesit Valentino Rossi ya. Rute menuju bukit sangat mudah dan nyaman, aspalan mulus Bro. Namun, sekitar satu kilometer sebelum bukit, jalanan memang masih berbatu tanpa aspal. Hanya butuh waktu sekitar setengah jam dari pusat kota menuju lokasi, tepatnya di perbatasan Kabupaten Ponorogo dan Wonogiri. Setelah sampai, segera kami bayar uang parkir Rp. 3000. FYI, tidak ada biaya masuk alias Geratis! Eh, GRATIS!
Bukit yang bernama Cumbri ialah bukit yang akan mengukir pengalaman mendaki pertama saya. Semangat 45 telah saya siapkan dari rumah. Medan pertama sudah berupa tanjakan dari tanah berbatu yang dibentuk menyerupai undakan tangga, jajaran pohon jati yang tumbuh di samping kanan dan kiri seakan-akan menyambut kedatangan para pendaki. Kaki terus melangkah, sambil melempar pandangan ke lingkungan sekitar. Bukit nyaris terbungkus permadani rumput hijau yang luas, dengan pepohonan tumbuh tersebar di atasnya. Sesekali tampak bongkahan batu berukuran besar dan kecil diam mematung menghiasi punggung bukit.
Lima belas menit pertama, jantung mulai berdetak keras dan nafas yang ngos-ngosan. Saya segera menghentikan langkah dan duduk sejenak. Ternyata mendaki tak se enteng yang saya imajinasikan sebelumnya. Padahal, belum sampai seperempat, ah mungkin kurang dari itu. Bagi saya saat itu, puncak Cumbri bagai lukisan yang tampak mungil dan mustahil kaki saya berpijak di atas sana. Namun, apa boleh buat jika langkah saya terhenti, bayangan pemandangan hijau menakjubkan dari atas bukit setinggi 638 Mdpl tak akan pernah saya lihat. Keputusan saya ambil seperti semboyan milik Pak SBY dulu, LANJUTKAN!!!
Rute pendakian di bukit Cumbri terus menanjak dengan kondisi pijakan batuan cadas yang keras dan tanah padat yang kering. Nyaris tidak tersedia jalan setapak di sepanjang jalur yang saya lewati. Maklum, fisik saya yang memang langsing akut alias kurus, hehe... membuat saya harus sering beristirahat. Ditambah lagi saya jarang berolah raga dan baru mendaki pertama kali. Sekitar setengah jam perjalanan, pandangan saya terasa berkunang-kunang. Waduh! Alamat pingsan ini! Pikir saya waktu itu. Tak ada banyak orang di puncak bukit, hanya sepupu perempuan yang sama-sama payah. Pengunjung saat itu lumayan sedikit, mungkin karena musim liburan memang belum dimulai sepenuhnya.
Jantung berdetak keras sampai saya sendiri bisa mendengar setiap detaknya. Nafas mulai putus-putus. Saya hanya diam menahan diri, menguatkan diri, dan menyemangati diri sendiri. Jalan rasanya sangat panjang dan berliku, sedangkan puncak Cumbri masih terlihat sama saja, kecil jauh disana. Jalan mulai berbatu, semakin menanjak dengan semak-semak tumbuh lebat di sela-sela bebatuan. Istirahat lagi, akhirnya, kali ini sampai di sebuah tanah yang cukup datar dengan rumput ilalang tumbuh menutupinya, seperti padang savana mini di atas bukit. Angin sesekali berhembus, menggoyangkan ilalang yang nampak tinggi kurus, ah... damai sekali. Lanjut! Matahari mulai terik, sekitar jam 10 lebih atau sudah 1 jam setengah saya mendaki. Rute semakin berbatu dan parah menanjak. Umumnya pendakian memakan waktu 1 jam, namun karena saya pendaki amatir, puncak Cumbri berhasil saya pijak dengan durasi 2 jam.

Entah mengapa, kondisi saya segar bugar di menit-menit akhir menggapai puncak Cumbri. Ketika sepupu saya semakin payah, saya malah bersemangat seperti awal pendakian. Mungkin karena pemandangan yang semakin nampak mempesona ketika terus naik, ditambah puncak Cumbri sebentar lagi akan berhasil saya takhlukkan.
Akhirnya tiba di puncak Bukit Cumbri dengan ketinggian 638 Mdpl. Puncak Cumbri ialah tatanan bongkahan batu besar berwarna putih. Disekelilingnya berupa turunan bukit dan jurang yang curam. Para pengunjung biasanya akan memanjat bebatuan dan menikmati pemandangan dari atasnya. Gunung, bukit, sawah, perumahan, hutan, pepohonan, dan hamparan langit lengkap dengan awannya yang tampak mengambang akan tersaji indah dari atas bukit Cumbri. Spot foto favorit para pengunjung ialah di salah satu batu yang dibelakangnya berjejer bukit-bukit hijau yang mengesankan. Mata akan dimanjakan dengan pandangan 360° full oleh pemandangan alam yang luar biasa.
Setelah sampai di puncak Bukit Cumbri, agenda selanjutnya ialah mengambil gambar. Apalagi? Mengabadikan setiap momen dalam bentuk gambar kini telah menjadi kegiatan wajib bahkan candu bagi hampir seluruh kalangan. Karena saya tidak terlalu suka berfoto, saya mendadak jadi fotografer bagi sepupu perempuan saya. Berbagai pose dan puluhan gambar telah tersimpan di memori HP. Sayang sekali, saya hanya memiliki kamera HP ber-resolusi 5 megapixel, bukannya DSLR yang menghasilkan gambar kualitas kinclong dan mantap. Jam 12 tepat, saya dan sepupu masih ogah meninggalkan puncak Cumbri. Meskipun panas, saya tetap enjoy menikmati pemandangan yang bagai lukisan raksasa yang telah dipoles oleh sang Maha Kuasa. Alhasil, wajah, tangan, dan kaki yang tadinya memang tidak mulus, semakin tampak eksotis alias cokelat agak gosong, hehe...
Begitulah kisah kasih perjalanan saya mendaki Bukit Cumbri. Bagi kalian pendaki pemula, jangan ngaku kuat kalau belum membuktikan sendiri sensasi mendaki yang sebenarnya. Mendaki bukanlah sekedar persiapan fisik atau semangat, melainkan siapkan juga harapan kalian untuk berhasil sampai ke puncaknya. Okay! Pesan-pesan terakhir, kalian yang cinta banget dengan momen-momen spesial, lebih baik punya modal kamera bagus, hehe... saran sih, dan... menuruni bukit Cumbri sama melelahkannya dengan proses pendakiannya bahkan lebih berbahaya. Karena lumayan curam, pastikan telapak kaki kalian sekuat baja yang dilengkapi dengan rem cakram, hehe... jika lengah sedikit saja, bisa jadi kalian akan terguling dan entah selamat atau tidak. Berhati-hatilah setiap saat, ingat! Nyawa kalian bukan berjumlah 9 yang katanya milik si hewan kucing, but just one! The one and only! Safe your body then safe your future. Salam!

Oleh: Nila Zulva Rosyida

Tidak ada komentar:

Posting Komentar