PESONA BUKIT 638 MDPL [CUMBRI]
Beberapa hari telah beranjak dari
hari kemenangan umat islam atau yang gampangnya disebut lebaran. Suasana
lebaran yang ditandai dengan ramainya jalanan karena meningkatnya jumlah
kendaraan yang lalu lalang lambat laun mulai berkurang. Kini, seminggu setelah
lebaran biasanya akan ramai dengan acara halal bi halal keluarga besar diikuti
dengan lebaran ketupat. Namun, dalam tulisan ini saya tidak akan membahas tentang
kemeriahan lebaran, melainkan akan diulas mengenai agenda pasca lebaran yang
seru dan menyenangkan.
Hari Minggu pagi yang cerah
menyambut akhir pekan. Agenda silaturahmi ke tetangga dan sanak saudara telah
rampung dua hari lalu. Saatnya berganti menyambut liburan. Pukul setengah 7
pagi saya telah selesai mandi dan bersiap-siap. Di depan televisi, sembari menunggu
jemputan, kipas angin mini memutar baling-balingnya, menurunkan suhu sepiring
nasi dan se-irus sayur lodeh yang
masih mengepul. Kemarin, sepupu perempuan mengajak untuk mengunjungi sebuah
bukit, dia mengatakan jam 7 pagi berangkat. Namun, hingga muatan piring telah
tandas, si pengajak belum juga tiba. Waktu tentu tak ingin berhenti dan memang
tak bisa berhenti, jarum jam telah menunjuk pukul 8. Ah... jadi ingat pepatah
jawa becak rodo telu, kadung macak ra
sido melu, haha... menyebalkan sekali! Gairah imajinasi berpetualang
mendaki bukit mulai sirna. Hm... paling
ora sido pikirku kecewa saat itu. Daripada menunggu tidak jelas, lebih baik
menyapu lantai yang masih kotor, hehe... Selang beberapa menit kemudian,
tiba-tiba suara khas motor matic terdengar berhenti di halaman rumah. Sebuah
kepala terbungkus helm terlihat menyembul ke arah ruang tamu. Yeay! Sapu segera
menari cepat agar lantai cepat bersih, semenit kemudian terlempar ke pojok
ruangan.
Helm, tas, dan dompet telah siap,
waktunya berangkat. Eits! Mampir dulu ke desa sebelah, ngambil hp yang kemarin
tertinggal di rumah teman. Selanjutnya segera tancap gas kecepatan penuh, tapi
tetap tak segesit Valentino Rossi ya. Rute menuju bukit sangat mudah dan
nyaman, aspalan mulus Bro. Namun, sekitar satu kilometer sebelum bukit, jalanan
memang masih berbatu tanpa aspal. Hanya butuh waktu sekitar setengah jam dari
pusat kota menuju lokasi, tepatnya di perbatasan Kabupaten Ponorogo dan
Wonogiri. Setelah sampai, segera kami bayar uang parkir Rp. 3000. FYI, tidak
ada biaya masuk alias Geratis! Eh, GRATIS!
Bukit yang bernama Cumbri ialah
bukit yang akan mengukir pengalaman mendaki pertama saya. Semangat 45 telah
saya siapkan dari rumah. Medan pertama sudah berupa tanjakan dari tanah berbatu
yang dibentuk menyerupai undakan tangga, jajaran pohon jati yang tumbuh di
samping kanan dan kiri seakan-akan menyambut kedatangan para pendaki. Kaki terus
melangkah, sambil melempar pandangan ke lingkungan sekitar. Bukit nyaris
terbungkus permadani rumput hijau yang luas, dengan pepohonan tumbuh tersebar
di atasnya. Sesekali tampak bongkahan batu berukuran besar dan kecil diam
mematung menghiasi punggung bukit.
Lima belas menit pertama, jantung
mulai berdetak keras dan nafas yang ngos-ngosan.
Saya segera menghentikan langkah dan duduk sejenak. Ternyata mendaki tak se enteng yang saya imajinasikan
sebelumnya. Padahal, belum sampai seperempat, ah mungkin kurang dari itu. Bagi
saya saat itu, puncak Cumbri bagai lukisan yang tampak mungil dan mustahil kaki
saya berpijak di atas sana. Namun, apa boleh buat jika langkah saya terhenti,
bayangan pemandangan hijau menakjubkan dari atas bukit setinggi 638 Mdpl tak
akan pernah saya lihat. Keputusan saya ambil seperti semboyan milik Pak SBY
dulu, LANJUTKAN!!!
Rute pendakian di bukit Cumbri
terus menanjak dengan kondisi pijakan batuan cadas yang keras dan tanah padat
yang kering. Nyaris tidak tersedia jalan setapak di sepanjang jalur yang saya
lewati. Maklum, fisik saya yang memang langsing akut alias kurus, hehe...
membuat saya harus sering beristirahat. Ditambah lagi saya jarang berolah raga
dan baru mendaki pertama kali. Sekitar setengah jam perjalanan, pandangan saya
terasa berkunang-kunang. Waduh! Alamat pingsan ini! Pikir saya waktu itu. Tak
ada banyak orang di puncak bukit, hanya sepupu perempuan yang sama-sama payah.
Pengunjung saat itu lumayan sedikit, mungkin karena musim liburan memang belum
dimulai sepenuhnya.
Jantung berdetak keras sampai
saya sendiri bisa mendengar setiap detaknya. Nafas mulai putus-putus. Saya
hanya diam menahan diri, menguatkan diri, dan menyemangati diri sendiri. Jalan
rasanya sangat panjang dan berliku, sedangkan puncak Cumbri masih terlihat sama
saja, kecil jauh disana. Jalan mulai berbatu, semakin menanjak dengan
semak-semak tumbuh lebat di sela-sela bebatuan. Istirahat lagi, akhirnya, kali
ini sampai di sebuah tanah yang cukup datar dengan rumput ilalang tumbuh
menutupinya, seperti padang savana mini di atas bukit. Angin sesekali
berhembus, menggoyangkan ilalang yang nampak tinggi kurus, ah... damai sekali.
Lanjut! Matahari mulai terik, sekitar jam 10 lebih atau sudah 1 jam setengah
saya mendaki. Rute semakin berbatu dan parah menanjak. Umumnya pendakian
memakan waktu 1 jam, namun karena saya pendaki amatir, puncak Cumbri berhasil
saya pijak dengan durasi 2 jam.
Entah mengapa, kondisi saya segar
bugar di menit-menit akhir menggapai puncak Cumbri. Ketika sepupu saya semakin
payah, saya malah bersemangat seperti awal pendakian. Mungkin karena
pemandangan yang semakin nampak mempesona ketika terus naik, ditambah puncak
Cumbri sebentar lagi akan berhasil saya takhlukkan.
Akhirnya tiba di puncak Bukit
Cumbri dengan ketinggian 638 Mdpl. Puncak Cumbri ialah tatanan bongkahan batu
besar berwarna putih. Disekelilingnya berupa turunan bukit dan jurang yang
curam. Para pengunjung biasanya akan memanjat bebatuan dan menikmati
pemandangan dari atasnya. Gunung, bukit, sawah, perumahan, hutan, pepohonan,
dan hamparan langit lengkap dengan awannya yang tampak mengambang akan tersaji
indah dari atas bukit Cumbri. Spot foto favorit para pengunjung ialah di salah
satu batu yang dibelakangnya berjejer bukit-bukit hijau yang mengesankan. Mata
akan dimanjakan dengan pandangan 360° full oleh pemandangan alam yang luar
biasa.
Setelah sampai di puncak Bukit
Cumbri, agenda selanjutnya ialah mengambil gambar. Apalagi? Mengabadikan setiap
momen dalam bentuk gambar kini telah menjadi kegiatan wajib bahkan candu bagi
hampir seluruh kalangan. Karena saya tidak terlalu suka berfoto, saya mendadak
jadi fotografer bagi sepupu perempuan saya. Berbagai pose dan puluhan gambar
telah tersimpan di memori HP. Sayang sekali, saya hanya memiliki kamera HP ber-resolusi
5 megapixel, bukannya DSLR yang menghasilkan gambar kualitas kinclong dan mantap. Jam 12 tepat, saya
dan sepupu masih ogah meninggalkan
puncak Cumbri. Meskipun panas, saya tetap enjoy
menikmati pemandangan yang bagai lukisan raksasa yang telah dipoles oleh sang
Maha Kuasa. Alhasil, wajah, tangan, dan kaki yang tadinya memang tidak mulus,
semakin tampak eksotis alias cokelat agak gosong, hehe...
Begitulah kisah kasih perjalanan
saya mendaki Bukit Cumbri. Bagi kalian pendaki pemula, jangan ngaku kuat kalau
belum membuktikan sendiri sensasi mendaki yang sebenarnya. Mendaki bukanlah
sekedar persiapan fisik atau semangat, melainkan siapkan juga harapan kalian
untuk berhasil sampai ke puncaknya. Okay! Pesan-pesan terakhir, kalian yang
cinta banget dengan momen-momen spesial, lebih baik punya modal kamera bagus,
hehe... saran sih, dan... menuruni bukit Cumbri sama melelahkannya dengan
proses pendakiannya bahkan lebih berbahaya. Karena lumayan curam, pastikan
telapak kaki kalian sekuat baja yang dilengkapi dengan rem cakram, hehe... jika
lengah sedikit saja, bisa jadi kalian akan terguling dan entah selamat atau
tidak. Berhati-hatilah setiap saat, ingat! Nyawa kalian bukan berjumlah 9 yang
katanya milik si hewan kucing, but just
one! The one and only! Safe your body then safe your future. Salam!
Oleh: Nila Zulva Rosyida
Tidak ada komentar:
Posting Komentar