Follow Us @nila_zulva

Senin, 02 Oktober 2017

Cerpen Tema Waktu "Lima Belas Menit"


Lima Belas Menit

Sepuluh tahun sudah saya menghabiskan waktu hanya untuk menyusun huruf dan menjadikannya kata. Entah berapa juta kata yang telah saya tulis, yang selanjutnya merangkainya menjadi sebuah paragraf dan berakhir menjadi sebuah cerita. Sejujurnya, tiada kertas yang terbuang sia-sia, tiada pengapus karet atau lebih keren lagi correction pen yang luluh menyatu dengan lembaran serat-serat kayu yang tipis. Karena zaman sudah canggih, tak perlu lagi saya membeli peralatan tulis menulis, satu buah layar beserta keyboard-nya sudah menjadi barang ajaib yang dapat menggantikannya. Sepuluh jari saya hanya tinggal melakukan satu sentuhan silih berganti, maka semuanya akan tersaji secepat mata saya berkedip. Perlu saya ucapkan terima kasih kepada bapak Alan Turing.
Saya teringat pada satu lembar kertas. Satu kalimat telah tertulis dengan tinta hitam pada permukaannya. Kalimat yang ditulis berdasarkan imajinasi dan kesenangan belaka. Berurutan dengan kalimat-kalimat lain yang bernasib sama. Omong kosong. Satu judul tertulis dengan ukuran huruf paling besar dibarisan paling atas. 100 MIMPI. Jelas sekali, saya masih ingat betul tulisan tangan yang memenuhi selembar kertas hvs berwarna putih yang sudah agak membulak kekuning-kuningan itu. Mungkin beberapa tetes air hujan telah terjun dan mendarat dari salah satu celah atap yang bolong saat hujan. Selembar kertas yang terlipat menjadi dua kali lebih kecil, terdiam tergeletak diantara tumpukan buku-buku di kamar kos berukuran 3 x 4 meter. Daftar 100 mimpi yang terpaksa ditulis karena tuntutan tugas dosen yang kepo. Sebenarnya mimpi saya tidaklah genap sampai 100. Demi tugas, mimpi-mimpi yang lain akhirnya tercipta dengan asal-asalan.
Satu baris kalimat dalam kertas berjudul 100 mimpi. Tertulis diurutan nomor tujuh belas. Saya sebenarnya tidak pernah bersungguh-sungguh untuk mencapai atau mewujudkannya, hanya saja sebuah harapan yang sedikit sempat saya sematkan diantara huruf-hurufnya. Tujuan yang sama sekali tidak sinkron dengan upaya yang telah saya lakukan bertahun-tahun, yang membangun dan memenuhi pengetahuan dalam otak saya. Biarlah... saya ingin menjadi penulis.
Hari ini saya telah duduk di sebuah kursi sofa yang empuk dan sangat nyaman. Sebuah kursi yang tampak elegan dengan balutan warna putih salju yang menawan. Saya menyamankan diri dengan memposisikan kaki kanan saya berada di atas kaki kiri saya. Menyilang. Di samping kanan saya telah tertata rapi buku-buku setebal 300-san halaman, bertumpuk di atas meja kayu jati yang mengilap. Sebuah gambar jam pasir dengan efek klasik dan misterius terpampang melekat dalam sampulnya. Tepat dibagian bawah sampul, nama saya terketik dengan font TW Cen MT Condensed, gaya huruf favorit saya.
Puluhan kamera berukuran jumbo lengkap dengan lampu flash yang menyilaukan juga telah sigap tegak mengiringi kemanapun kamera bergerak. Suaranya yang khas berbunyi ‘cekrek’ terdengar ribut bersahut-sahutan. Saya hanya tersenyum, mematutkan diri di depan puluhan wartawan. Di belakangnya, tak kalah ramai, puluhan kursi telah berbaris rapi memenuhi ruang serba guna milik kabupaten. Entah siapa saja yang hadir, namun ruangan terasa sesak oleh sekumpulan manusia dengan ekspresi wajah yang berseri-seri.
Lima belas menit lagi dipastikan beberapa pertanyaan akan terlempar kepada saya. Pertanyaan yang entah sudah berapa puluh kali terulang-ulang, diucapkan oleh orang berbeda di tempat berbeda. Namun bagi saya, itu bukanlah sesuatu yang membosankan tapi itu adalah sebuah penghargaan. Inilah hasil jerih payah saya selama sepuluh tahun. Nikmat sekali. Mata saya memandang kedepan, menyorot seluruh keriuhan yang justru tertuju pada saya seorang. Puluhan pasang mata yang menatap tajam, menggugah gerogi dan sanggup melunturkan rasa percaya diri yang telah saya bangun berjam-jam yang lalu. Namun tiba-tiba pikiran saya sejenak telah melayang entah kemana. Jiwa saya sepertinya pergi seiring dengan kilatan lampu flash kamera yang putih mengejutkan. Silih berganti, menyala dan padam.
Sedetik kemudian, saya seperti berpindah tempat. Lebih sunyi. Kini tidak ada lagi kamera, lampu, manusia, dan keramaian yang berisik. Seketika saya sudah terduduk di dalam sebuah bioskop. Sendirian. Di depan saya, layar lebar raksasa berkedip-kedip, bersiap memutar sebuah video. Saya celingukan. Gelap. Ah! Saya tidak peduli dengan suasana aneh di ruang bioskop. Saya merasa heran, mata saya terpana pada layar besar yang telah terisi oleh gambar yang bergerak dan bersuara. Saya menonton diri saya sendiri, masa ketika saya pertama masuk ke jenjang sekolah menengah atas. Kekecewaan jelas tak akan pernah pudar dari kenangan itu. Saya seorang diri terpaksa terpisah dari lima orang sahabat sewaktu SMP, dengan rasa tidak ikhlas saya daftar di sekolah berbeda. Pupus sudah harapan untuk mengenakan seragam idaman. Apalah daya jika orang tua memang tak ada biaya, serba pas-pasan.
Hari-hari keberangkatan sekolah masa SMA saya jalani setengah hati. Setiap hari saya mengayuh sepedah ontel yang berisik, berderit-derit karena berkarat. Untungnya tidak terlalu jauh, hanya 2 kilometer. Teman baru, tempat baru, pengajar baru, semuanya sama sekali tidak menarik. Saya, yang pada dasarnya memang pendiam dan tak pandai bersosialisasi hanya menghabiskan waktu untuk memandang dan mengamati lingkungan sekolah yang hambar. Saya benar-benar bernostalgia, nyata sekali. Flashback! Mengenang masa lalu, kenangan yang saya anggap buruk. Saya termenung beberapa detik.
Layar terus memainkan videonya, kini memutar video yang lain. Saya tampak duduk diatas kursi kayu, kali ini tidak sendirian. Tiga teman saya ada disana, kami berempat berhadap-hadapan. Kami tertawa, bahagia sekali, banyak topik yang dibicarakan, tentang mimpi, masa depan, dan macam-macam yang lainnya. Kami sangat bersemangat dan ramai. Saya mengingat lagi, kenangan itu terjadi di lantai dua salah satu gedung baru di sekolah. Berlantai cor tanpa atap, gedung masih setengah jadi. Saat ada jam kosong, itulah kesempatan kami untuk menghabiskan waktu disana.
Melihat mereka, saya menyadari satu hal. Kalau bukan karena biaya yang mahal, saya pasti tidak akan pernah masuk ke sekolah ini, tidak akan pernah bertemu dengan mereka. Sahabat baru yang begitu berharga dan mengesankan. Sahabat yang benar-benar sahabat! Lebih baik dari lima orang yang dulu terpisah.
Saya menarik nafas dalam. Bersyukur. Tiba-tiba video berganti lagi, backsound kini terdengar sangat nyaring dan berisik. Saya terperangah, sedetik kemudian mata saya berkaca-kaca. Prestasi pertama saya yang gemilang. Saya terlihat memegang piala juara 1 perlombaan desain tingkat provinsi. Tidak hanya itu, satu bulan berikutnya, dan berikutnya lagi, saya berhasil membawa pulang prestasi yang lain. Saya menang lagi! Perlombaan desain dan menggambar ditingkat karesidenan. Juara 1 tiga kali berturut-turut! Siapa sangka bisa seperti itu?! Melihat itu, saya tidak bisa berkata apapun. Salah satu momen paling indah justru terukir di tempat saya merasa terbuang dan tersesat. Saya menunduk, menutup wajah dengan kedua telapak tangan.
Layar kini berganti lagi, menampilkan ruang bimbingan konseling yang sempit. Seorang guru tampak duduk disebuah kursi dengan mulut yang sibuk mengoceh, menjelaskan beberapa hal, sedangkan tangannya memegang selembar brosur. Saya dan tiga teman saya juga ada disana, menghadap sambil menyimak, mengangguk bergantian. Itu ialah ketika saya sedang berkonsultasi, mengenai dunia perkuliahan, tujuan saya setelah lulus SMA.
Saya mendongak, memandang lagi layar besar yang memutar rekaman lain tentang perjalanan hidup saya. Saya bertanya-tanya, apa saya sedang berhalusinasi? Bagaimana bisa? Mengapa? Beberapa pertanyaan terlintas di kepala saya, namun segera menghilang karena teralihkan oleh video yang sedang saya tonton.
Bodoh sekali. Saya tidak sadar kalau saya bukanlah siswi cerdas. Saya tidak memiliki cukup prestasi yang luar biasa. Saya benar-benar tidak memiliki apa-apa. Musuh saya ada berjuta-juta dan saya buta akan itu. Pendaftaran untuk masuk ke perguruan tinggi negeri telah dibuka, jalur SNMPTN atau biasa disebut jalur undangan. Mengandalkan nilai rapor dan prestasi selama dua setengah tahun terakhir. Sekolah saya bukanlah sekolah ternama, bahkan kekurangan murid diangkatan saya. Nilai rapor saya pas-pasan, apalagi nilai ujian nasional benar-benar hancur tak tertolong. Empat dari enam mata pelajaran ujian nasional saya mendapat nilai dibawah 50, karena saya mengerjakan dengan kemampuan apa adanya.
Keberuntungan. Hanya itu yang saya punya dan teguh saya pegang. Saya memilih tiga universitas favorit saat pendaftaran online. Saya benar-benar kehilangan akal sehat, tidak mengukur kemampuan diri saya sendiri. Ego yang besar membuat saya tenggelam dalam impian sesaat. Terlalu dini, imajinasi saya telah terlampau jauh membayangkan semuanya. Bayang-bayang masuk ke universitas favorit.
“hah” saya mendesah. Saya benar-benar buruk waktu itu, tidak berpikir sebelum mengambil keputusan. Tentu saja saya tidak lolos! Namun, rekaman setelah itu, telah menuntun saya ke jalan yang lebih baik. Ketidaksadaran saya mengukur kemampuan diri menjadi sebab keberhasilan saya masuk ke universitas negeri lain yang tidak kalah bagus.
Setelah saya sadar dan menyesal, saat itu saya diajak ibu ke rumah saudara. Saya ditawari ikut sebuah bimbingan belajar selama satu bulan. Awalnya saya menolak, saya tidak cukup berani pergi sendiri tanpa ada teman yang saya kenal. Namun, sepupu saya akhirnya juga ikut. Saya memulai lagi dari awal, belajar lagi mempersiapkan diri untuk ikut ujian tulis. Jalur masuk perguruan tinggi negeri yang lain yang disebut SBMPTN.
Satu bulan berjalan dengan cepat, selama dikarantina untuk bimbingan, tidak hanya ilmu untuk tes, saya juga mendapat bekal tentang pengetahuan dunia perkuliahan. Dua minggu pertama saya begitu bersemangat. Namun, dua minggu terakhir, bosan menghampiri saya. Sejujurnya, fisika, kimia, dan matematika tidaklah semakin saya mengerti, sebaliknya pikiran saya semakin kacau. Saya bolos beberapa kali, tidak mengikuti bimbingan. Saya melungker dalam kamar. Saya lelah menghafal rumus, saya benar-benar merasa frustasi!
Hari pendaftaran akhirnya tiba. Kali ini saya memilih satu universitas favorit diurutan pertama dan diurutan selanjutnya saya pilih universitas berkelas satu tingkat dibawah universitas favorit. Nomor pertama dan kedua mantap saya pilih jurusan desain dan teknik sipil. Saya merasa percaya diri bahwa saya layak masuk salah satunya, karena hobi saya menggambar dan gambaran saya dinilai cukup bagus oleh beberapa orang. Namun nomor tiga masih kosong, saya agak bingung. Jurusan apa yang harus saya pilih? Akhirnya saya mengambil jurusan teknik pertanian. Saya melihat jumlah kuota dan pendaftar pada tahun lalu tidak terlalu banyak. Ini bisa saya jadikan sebagai cadangan.
Hari H ujian tulis saya jalani di Surabaya. Saya mengerjakan puluhan soal sesuai insting, terlebih lagi pada bagian pelajaran fisika, kimia, dan matematika. Entah rumus seperti apa yang saya gunakan saat itu, namun yang terpenting saya mengisi lembar jawaban agak sedikit penuh. Sebenarnya saya tahu, apabila jawaban saya salah maka saya akan mendapat nilai minus, namun jika saya lebih banyak tidak menjawab mungkin akan lebih parah lagi, tidak akan ada tambahan nilai. Tidak menjawab berarti bernilai nol. Keberuntungan benar-benar berperan penting dalam ujian tes tulis seperti ini. Saya orang yang tak ambil pusing, jika lolos alhamdulillah kalau tidak ya sudah tidak apa-apa.
Usai mengikuti ujian SBMPTN saya harus menunggu pengumuman jangka satu bulan berikutnya. Selama itu saya sempatkan mendaftarkan diri masuk ke perguruan tinggi lain, STAIN dalam kota. Saya takut jika tidak lolos. Video terus berputar, saya hanya terpaku ditempat memandang layar lebar yang serba tahu segala liku hidup saya. Saya hanya mendesah beberapa kali, menarik nafas dalam dan bertanya-tanya mengapa bisa begitu?
Waktu itu, jatuh pada salah satu hari di bulan Ramadhan. Selesai sholat tarawih di mushola dekat rumah. Saya berlari pulang dengan masih memakai mukena. Kebetulan sepupu saya sedang berkunjung, dia membantu saya melihat pengumuman SBMPTN. Dia menyumbangkan paketan internetnya, layar notebook 10 inci telah menampilkan website yang sedang loading. Ayah, ibu, kakak, dua adik dan sepupu saya, termasuk saya sendiri turut berkerumun di ruang keluarga menatap layar notebook yang mungil. Hati saya berdebar-debar, universitas pilihan pertama saya sebut disetiap detik dalam pikiran saya, berharap saya lolos disana. Kursor masih tampak berputar-putar. Saya menelan ludah, memandang layar notebook semakin dekat, tidak sabar.
“bagaimana? Lolos apa tidak?” tanya Ayah saya ketika layar telah berhasil menampilkan hasil pengumuman.
Saya terdiam tidak menjawab. Sepupu saya yang tahu langsung mengatakan kalau saya lolos, dipilihan ketiga. Setelah tahu, semuanya menyatakan syukur, bersuka cita. Namun tidak dengan saya, saya masih terdiam, hanya mendesah dalam tanpa sepatah kata apapun. Saya hanya meringis tipis menanggapi pertanyaan ayah dan ibu yang bangga atas keberhasilan saya masuk perguruan tinggi di luar kota yang jauh sekali. Perasaan saya waktu itu campur aduk, saya merasa senang tapi juga kecewa. Tidak puas. Pilihan ketiga bukanlah pilihan hati saya, itu hanyalah cadangan berdasar asal-asalan.
Saya tertawa kecil menonton rekaman itu. Saya masih tetap bodoh, memilih pilihan yang tidak saya inginkan. Saya masih mengutamakan bagaimana saya agar bisa kuliah keluar kota bukan mementingkan prioritas apa yang benar-benar menjadi keinginan hati dan kemampuan saya. Namun, lepas dari itu semua saya menjadi lebih mengerti sekarang. Kegagalan SNMPTN secara tidak langsung telah membuka kesempatan saya diujian yang lain. Satu bulan dikarantina untuk bimbingan tentu tak akan saya jalani jika bukan karena ketidaklolosan itu.
Video berganti lagi, menampilkan suasana kehidupan kampus tanpa seragam. Saya tampak berjalan kaki sendirian. Melewati masjid kampus, fakultas pertanian, dan FMIPA sebelum akhirnya sampai di fakultas saya sendiri, fakultas teknologi pertanian.
Perasaan tiga tahun yang lalu kini terulang lagi. Meskipun saya berhasil masuk perguruan tinggi kenamaan, namun hasrat saya merasa bukanlah disini. Saya belajar dengan tiada niat. Hari-hari saya semakin hambar dalam dunia perkuliahan. Saya merasa benar-benar tersesat. Genap delapan bulan disemester pertama dan kedua, saya dikenal sebagai mahasiswi yang tampak angkuh dan arogan. Saya semakin sulit bergaul dilingkungan baru dengan beragam macam model manusia. Sebenarnya sifat saya sebenarnya bukanlah seperti itu, saya hanya semakin takut dan merasa tersesat. Kemanapun saya pergi, saya selalu sendiri. Kepala saya dipenuhi dengan pertanyaan setiap harinya. Mau jadi apa saya nanti? Mengapa saya masuk ke sini? Bagaimana selanjutnya? Apa yang sebenarnya ingin saya capai? Apa cita-cita saya? Semuanya semrawut semakin tidak jelas.
Kertas 100 mimpi tercipta ketika saya masuk disemester tiga. Kertas yang dengan senang hati saya tulis, namun tidak dengan niat dan upaya yang sungguh-sungguh. Disemester empat, saya baru menyadari sepenuhnya kalau saya benar-benar menyukai dunia kepenulisan. Disela-sela waktu kosong saya sempatkan menulis sebuah cerita di laptop, selain itu saya juga membebaskan segala perasaan suka duka lewat sebuah tulisan puisi di status media sosial. Pada liburan semester yang panjang, hari-hari saya terisi dengan menulis, berimajinasi dan menghabiskan waktu didepan layar laptop. Suatu hari pernah saya berpikir untuk pindah jurusan, sastra. Namun setelah saya pikir lagi itu tidak mungkin. Biaya dan waktu tentu akan terbuang percuma.
Kini saya tersenyum, lega. Itulah langkah awal penentuan impian saya. Langkah yang mendadak muncul, tanpa persiapan apapun. Video terus berputar, menampilkan kisah terakhir saya. Disemester akhir perkuliahan, saya memberanikan diri mengirim sebuah karya saya yang masih amburadul, tanpa pernah diedit atau dikoreksi sebelumnya ke salah satu penerbit. Sebuah novel. Beberapa detik kemudian layar lebar yang terang padam seketika. Hitam legam. Ruang bioskop sunyi kembali, kosong tanpa suara.
Saya masih termenung, memandang layar yang telah gelap. Saya rasa saya harus menyadari sesuatu dari rekaman singkat itu. Yakinlah, sebuah cita-cita yang pernah terbisik dalam hati perlahan akan terwujud. Meskipun tanpa sebuah bayangan sebelumnya. Waktulah yang akan menjadi penentu dan kunci dari semuanya. Perjalanan hidup adalah sekumpulan beberapa titik, dari titik satu pastilah akan terhubung ke titik-titik yang lain. Membentuk sebuah benang panjang yang melahirkan kisah-kisah hebat didalamnya. Percayalah juga, waktu tak akan pernah berkhianat, waktu tentu akan mengantar kita, berhenti dalam ruang akhir yang teramat berharga. Waktu tak akan membuang dan melempar kita dalam kesesatan, namun kita hanya perlu mencari tempat lain, titik lain, titik yang akan menyambung tali kisah hidup kita. Kemana dan dimana kita akan berhenti. Berbahagia.
Kedua mata saya terpejam, melepas segala gundah dan ketidakrelaan beberapa keputusan yang telah saya ambil dulu. Saya kembali. Saya menangis. Seseorang tampak heran disamping saya, bertanya-tanya dengan menyodorkan mikrofon dari tangannya. Puluhan kamera kembali menjepret. Mereka ingin tahu mengapa tiba-tiba saya menangis. Saya masih terdiam, hanya menjawab dengan tersenyum.
Karya: Nila Z.R.
Agustus 2017

5 komentar: