Lima
Belas Menit
Sepuluh
tahun sudah saya menghabiskan waktu hanya untuk menyusun huruf dan
menjadikannya kata. Entah berapa juta kata yang telah saya tulis, yang
selanjutnya merangkainya menjadi sebuah paragraf dan berakhir menjadi sebuah
cerita. Sejujurnya, tiada kertas yang terbuang sia-sia, tiada pengapus karet
atau lebih keren lagi correction pen
yang luluh menyatu dengan lembaran serat-serat kayu yang tipis. Karena zaman
sudah canggih, tak perlu lagi saya membeli peralatan tulis menulis, satu buah
layar beserta keyboard-nya sudah
menjadi barang ajaib yang dapat menggantikannya. Sepuluh jari saya hanya
tinggal melakukan satu sentuhan silih berganti, maka semuanya akan tersaji secepat
mata saya berkedip. Perlu saya ucapkan terima kasih kepada bapak Alan Turing.
Saya
teringat pada satu lembar kertas. Satu kalimat telah tertulis dengan tinta
hitam pada permukaannya. Kalimat yang ditulis berdasarkan imajinasi dan
kesenangan belaka. Berurutan dengan kalimat-kalimat lain yang bernasib sama.
Omong kosong. Satu judul tertulis dengan ukuran huruf paling besar dibarisan
paling atas. 100 MIMPI. Jelas sekali, saya masih ingat betul tulisan tangan
yang memenuhi selembar kertas hvs berwarna putih yang sudah agak membulak kekuning-kuningan itu. Mungkin
beberapa tetes air hujan telah terjun dan mendarat dari salah satu celah atap
yang bolong saat hujan. Selembar kertas yang terlipat menjadi dua kali lebih
kecil, terdiam tergeletak diantara tumpukan buku-buku di kamar kos berukuran 3
x 4 meter. Daftar 100 mimpi yang terpaksa ditulis karena tuntutan tugas dosen
yang kepo. Sebenarnya mimpi saya
tidaklah genap sampai 100. Demi tugas, mimpi-mimpi yang lain akhirnya tercipta
dengan asal-asalan.
Satu
baris kalimat dalam kertas berjudul 100 mimpi. Tertulis diurutan nomor tujuh
belas. Saya sebenarnya tidak pernah bersungguh-sungguh untuk mencapai atau
mewujudkannya, hanya saja sebuah harapan yang sedikit sempat saya sematkan
diantara huruf-hurufnya. Tujuan yang sama sekali tidak sinkron dengan upaya
yang telah saya lakukan bertahun-tahun, yang membangun dan memenuhi pengetahuan
dalam otak saya. Biarlah... saya ingin menjadi penulis.
Hari
ini saya telah duduk di sebuah kursi sofa yang empuk dan sangat nyaman. Sebuah
kursi yang tampak elegan dengan balutan warna putih salju yang menawan. Saya
menyamankan diri dengan memposisikan kaki kanan saya berada di atas kaki kiri
saya. Menyilang. Di samping kanan saya telah tertata rapi buku-buku setebal
300-san halaman, bertumpuk di atas meja kayu jati yang mengilap. Sebuah gambar
jam pasir dengan efek klasik dan misterius terpampang melekat dalam sampulnya.
Tepat dibagian bawah sampul, nama saya terketik dengan font TW Cen MT Condensed, gaya huruf favorit saya.
Puluhan
kamera berukuran jumbo lengkap dengan lampu flash
yang menyilaukan juga telah sigap tegak mengiringi kemanapun kamera bergerak.
Suaranya yang khas berbunyi ‘cekrek’ terdengar ribut bersahut-sahutan. Saya
hanya tersenyum, mematutkan diri di depan puluhan wartawan. Di belakangnya, tak
kalah ramai, puluhan kursi telah berbaris rapi memenuhi ruang serba guna milik
kabupaten. Entah siapa saja yang hadir, namun ruangan terasa sesak oleh
sekumpulan manusia dengan ekspresi wajah yang berseri-seri.
Lima
belas menit lagi dipastikan beberapa pertanyaan akan terlempar kepada saya. Pertanyaan
yang entah sudah berapa puluh kali terulang-ulang, diucapkan oleh orang berbeda
di tempat berbeda. Namun bagi saya, itu bukanlah sesuatu yang membosankan tapi
itu adalah sebuah penghargaan. Inilah hasil jerih payah saya selama sepuluh
tahun. Nikmat sekali. Mata saya memandang kedepan, menyorot seluruh keriuhan
yang justru tertuju pada saya seorang. Puluhan pasang mata yang menatap tajam,
menggugah gerogi dan sanggup melunturkan rasa percaya diri yang telah saya
bangun berjam-jam yang lalu. Namun tiba-tiba pikiran saya sejenak telah
melayang entah kemana. Jiwa saya sepertinya pergi seiring dengan kilatan lampu flash kamera yang putih mengejutkan.
Silih berganti, menyala dan padam.
Sedetik
kemudian, saya seperti berpindah tempat. Lebih sunyi. Kini tidak ada lagi
kamera, lampu, manusia, dan keramaian yang berisik. Seketika saya sudah terduduk
di dalam sebuah bioskop. Sendirian. Di depan saya, layar lebar raksasa
berkedip-kedip, bersiap memutar sebuah video. Saya celingukan. Gelap. Ah! Saya tidak peduli dengan suasana aneh di
ruang bioskop. Saya merasa heran, mata saya terpana pada layar besar yang telah
terisi oleh gambar yang bergerak dan bersuara. Saya menonton diri saya sendiri,
masa ketika saya pertama masuk ke jenjang sekolah menengah atas. Kekecewaan
jelas tak akan pernah pudar dari kenangan itu. Saya seorang diri terpaksa
terpisah dari lima orang sahabat sewaktu SMP, dengan rasa tidak ikhlas saya
daftar di sekolah berbeda. Pupus sudah harapan untuk mengenakan seragam idaman.
Apalah daya jika orang tua memang tak ada biaya, serba pas-pasan.
Hari-hari
keberangkatan sekolah masa SMA saya jalani setengah hati. Setiap hari saya
mengayuh sepedah ontel yang berisik,
berderit-derit karena berkarat. Untungnya tidak terlalu jauh, hanya 2
kilometer. Teman baru, tempat baru, pengajar baru, semuanya sama sekali tidak
menarik. Saya, yang pada dasarnya memang pendiam dan tak pandai bersosialisasi
hanya menghabiskan waktu untuk memandang dan mengamati lingkungan sekolah yang
hambar. Saya benar-benar bernostalgia, nyata sekali. Flashback! Mengenang masa lalu, kenangan yang saya anggap buruk.
Saya termenung beberapa detik.
Layar
terus memainkan videonya, kini memutar video yang lain. Saya tampak duduk
diatas kursi kayu, kali ini tidak sendirian. Tiga teman saya ada disana, kami
berempat berhadap-hadapan. Kami tertawa, bahagia sekali, banyak topik yang
dibicarakan, tentang mimpi, masa depan, dan macam-macam yang lainnya. Kami
sangat bersemangat dan ramai. Saya mengingat lagi, kenangan itu terjadi di
lantai dua salah satu gedung baru di sekolah. Berlantai cor tanpa atap, gedung
masih setengah jadi. Saat ada jam kosong, itulah kesempatan kami untuk
menghabiskan waktu disana.
Melihat
mereka, saya menyadari satu hal. Kalau bukan karena biaya yang mahal, saya
pasti tidak akan pernah masuk ke sekolah ini, tidak akan pernah bertemu dengan
mereka. Sahabat baru yang begitu berharga dan mengesankan. Sahabat yang
benar-benar sahabat! Lebih baik dari lima orang yang dulu terpisah.
Saya
menarik nafas dalam. Bersyukur. Tiba-tiba video berganti lagi, backsound kini terdengar sangat nyaring
dan berisik. Saya terperangah, sedetik kemudian mata saya berkaca-kaca.
Prestasi pertama saya yang gemilang. Saya terlihat memegang piala juara 1
perlombaan desain tingkat provinsi. Tidak hanya itu, satu bulan berikutnya, dan
berikutnya lagi, saya berhasil membawa pulang prestasi yang lain. Saya menang
lagi! Perlombaan desain dan menggambar ditingkat karesidenan. Juara 1 tiga kali
berturut-turut! Siapa sangka bisa seperti itu?! Melihat itu, saya tidak bisa
berkata apapun. Salah satu momen paling indah justru terukir di tempat saya
merasa terbuang dan tersesat. Saya menunduk, menutup wajah dengan kedua telapak
tangan.
Layar
kini berganti lagi, menampilkan ruang bimbingan konseling yang sempit. Seorang
guru tampak duduk disebuah kursi dengan mulut yang sibuk mengoceh, menjelaskan
beberapa hal, sedangkan tangannya memegang selembar brosur. Saya dan tiga teman
saya juga ada disana, menghadap sambil menyimak, mengangguk bergantian. Itu
ialah ketika saya sedang berkonsultasi, mengenai dunia perkuliahan, tujuan saya
setelah lulus SMA.
Saya
mendongak, memandang lagi layar besar yang memutar rekaman lain tentang
perjalanan hidup saya. Saya bertanya-tanya, apa saya sedang berhalusinasi?
Bagaimana bisa? Mengapa? Beberapa pertanyaan terlintas di kepala saya, namun
segera menghilang karena teralihkan oleh video yang sedang saya tonton.
Bodoh
sekali. Saya tidak sadar kalau saya bukanlah siswi cerdas. Saya tidak memiliki
cukup prestasi yang luar biasa. Saya benar-benar tidak memiliki apa-apa. Musuh saya
ada berjuta-juta dan saya buta akan itu. Pendaftaran untuk masuk ke perguruan
tinggi negeri telah dibuka, jalur SNMPTN atau biasa disebut jalur undangan.
Mengandalkan nilai rapor dan prestasi selama dua setengah tahun terakhir.
Sekolah saya bukanlah sekolah ternama, bahkan kekurangan murid diangkatan saya.
Nilai rapor saya pas-pasan, apalagi nilai ujian nasional benar-benar hancur tak
tertolong. Empat dari enam mata pelajaran ujian nasional saya mendapat nilai
dibawah 50, karena saya mengerjakan dengan kemampuan apa adanya.
Keberuntungan.
Hanya itu yang saya punya dan teguh saya pegang. Saya memilih tiga universitas
favorit saat pendaftaran online. Saya benar-benar kehilangan akal sehat, tidak
mengukur kemampuan diri saya sendiri. Ego yang besar membuat saya tenggelam
dalam impian sesaat. Terlalu dini, imajinasi saya telah terlampau jauh
membayangkan semuanya. Bayang-bayang masuk ke universitas favorit.
“hah”
saya mendesah. Saya benar-benar buruk waktu itu, tidak berpikir sebelum
mengambil keputusan. Tentu saja saya tidak lolos! Namun, rekaman setelah itu,
telah menuntun saya ke jalan yang lebih baik. Ketidaksadaran saya mengukur
kemampuan diri menjadi sebab keberhasilan saya masuk ke universitas negeri lain
yang tidak kalah bagus.
Setelah
saya sadar dan menyesal, saat itu saya diajak ibu ke rumah saudara. Saya
ditawari ikut sebuah bimbingan belajar selama satu bulan. Awalnya saya menolak,
saya tidak cukup berani pergi sendiri tanpa ada teman yang saya kenal. Namun,
sepupu saya akhirnya juga ikut. Saya memulai lagi dari awal, belajar lagi
mempersiapkan diri untuk ikut ujian tulis. Jalur masuk perguruan tinggi negeri
yang lain yang disebut SBMPTN.
Satu
bulan berjalan dengan cepat, selama dikarantina untuk bimbingan, tidak hanya
ilmu untuk tes, saya juga mendapat bekal tentang pengetahuan dunia perkuliahan.
Dua minggu pertama saya begitu bersemangat. Namun, dua minggu terakhir, bosan
menghampiri saya. Sejujurnya, fisika, kimia, dan matematika tidaklah semakin
saya mengerti, sebaliknya pikiran saya semakin kacau. Saya bolos beberapa kali,
tidak mengikuti bimbingan. Saya melungker
dalam kamar. Saya lelah menghafal rumus, saya benar-benar merasa frustasi!
Hari
pendaftaran akhirnya tiba. Kali ini saya memilih satu universitas favorit
diurutan pertama dan diurutan selanjutnya saya pilih universitas berkelas satu
tingkat dibawah universitas favorit. Nomor pertama dan kedua mantap saya pilih
jurusan desain dan teknik sipil. Saya merasa percaya diri bahwa saya layak
masuk salah satunya, karena hobi saya menggambar dan gambaran saya dinilai
cukup bagus oleh beberapa orang. Namun nomor tiga masih kosong, saya agak
bingung. Jurusan apa yang harus saya pilih? Akhirnya saya mengambil jurusan
teknik pertanian. Saya melihat jumlah kuota dan pendaftar pada tahun lalu tidak
terlalu banyak. Ini bisa saya jadikan sebagai cadangan.
Hari
H ujian tulis saya jalani di Surabaya. Saya mengerjakan puluhan soal sesuai
insting, terlebih lagi pada bagian pelajaran fisika, kimia, dan matematika.
Entah rumus seperti apa yang saya gunakan saat itu, namun yang terpenting saya
mengisi lembar jawaban agak sedikit penuh. Sebenarnya saya tahu, apabila
jawaban saya salah maka saya akan mendapat nilai minus, namun jika saya lebih
banyak tidak menjawab mungkin akan lebih parah lagi, tidak akan ada tambahan
nilai. Tidak menjawab berarti bernilai nol. Keberuntungan benar-benar berperan
penting dalam ujian tes tulis seperti ini. Saya orang yang tak ambil pusing,
jika lolos alhamdulillah kalau tidak ya sudah tidak apa-apa.
Usai
mengikuti ujian SBMPTN saya harus menunggu pengumuman jangka satu bulan
berikutnya. Selama itu saya sempatkan mendaftarkan diri masuk ke perguruan
tinggi lain, STAIN dalam kota. Saya takut jika tidak lolos. Video terus
berputar, saya hanya terpaku ditempat memandang layar lebar yang serba tahu
segala liku hidup saya. Saya hanya mendesah beberapa kali, menarik nafas dalam
dan bertanya-tanya mengapa bisa begitu?
Waktu
itu, jatuh pada salah satu hari di bulan Ramadhan. Selesai sholat tarawih di
mushola dekat rumah. Saya berlari pulang dengan masih memakai mukena. Kebetulan
sepupu saya sedang berkunjung, dia membantu saya melihat pengumuman SBMPTN. Dia
menyumbangkan paketan internetnya, layar notebook
10 inci telah menampilkan website yang sedang loading. Ayah, ibu, kakak, dua adik dan sepupu saya, termasuk saya
sendiri turut berkerumun di ruang keluarga menatap layar notebook yang mungil. Hati saya berdebar-debar, universitas pilihan
pertama saya sebut disetiap detik dalam pikiran saya, berharap saya lolos
disana. Kursor masih tampak berputar-putar. Saya menelan ludah, memandang layar
notebook semakin dekat, tidak sabar.
“bagaimana?
Lolos apa tidak?” tanya Ayah saya ketika layar telah berhasil menampilkan hasil
pengumuman.
Saya
terdiam tidak menjawab. Sepupu saya yang tahu langsung mengatakan kalau saya
lolos, dipilihan ketiga. Setelah tahu, semuanya menyatakan syukur, bersuka
cita. Namun tidak dengan saya, saya masih terdiam, hanya mendesah dalam tanpa sepatah
kata apapun. Saya hanya meringis tipis menanggapi pertanyaan ayah dan ibu yang
bangga atas keberhasilan saya masuk perguruan tinggi di luar kota yang jauh
sekali. Perasaan saya waktu itu campur aduk, saya merasa senang tapi juga
kecewa. Tidak puas. Pilihan ketiga bukanlah pilihan hati saya, itu hanyalah
cadangan berdasar asal-asalan.
Saya
tertawa kecil menonton rekaman itu. Saya masih tetap bodoh, memilih pilihan
yang tidak saya inginkan. Saya masih mengutamakan bagaimana saya agar bisa
kuliah keluar kota bukan mementingkan prioritas apa yang benar-benar menjadi
keinginan hati dan kemampuan saya. Namun, lepas dari itu semua saya menjadi
lebih mengerti sekarang. Kegagalan SNMPTN secara tidak langsung telah membuka
kesempatan saya diujian yang lain. Satu bulan dikarantina untuk bimbingan tentu
tak akan saya jalani jika bukan karena ketidaklolosan itu.
Video
berganti lagi, menampilkan suasana kehidupan kampus tanpa seragam. Saya tampak
berjalan kaki sendirian. Melewati masjid kampus, fakultas pertanian, dan FMIPA
sebelum akhirnya sampai di fakultas saya sendiri, fakultas teknologi pertanian.
Perasaan
tiga tahun yang lalu kini terulang lagi. Meskipun saya berhasil masuk perguruan
tinggi kenamaan, namun hasrat saya merasa bukanlah disini. Saya belajar dengan
tiada niat. Hari-hari saya semakin hambar dalam dunia perkuliahan. Saya merasa
benar-benar tersesat. Genap delapan bulan disemester pertama dan kedua, saya
dikenal sebagai mahasiswi yang tampak angkuh dan arogan. Saya semakin sulit
bergaul dilingkungan baru dengan beragam macam model manusia. Sebenarnya sifat
saya sebenarnya bukanlah seperti itu, saya hanya semakin takut dan merasa
tersesat. Kemanapun saya pergi, saya selalu sendiri. Kepala saya dipenuhi
dengan pertanyaan setiap harinya. Mau jadi apa saya nanti? Mengapa saya masuk
ke sini? Bagaimana selanjutnya? Apa yang sebenarnya ingin saya capai? Apa
cita-cita saya? Semuanya semrawut semakin tidak jelas.
Kertas
100 mimpi tercipta ketika saya masuk disemester tiga. Kertas yang dengan senang
hati saya tulis, namun tidak dengan niat dan upaya yang sungguh-sungguh. Disemester
empat, saya baru menyadari sepenuhnya kalau saya benar-benar menyukai dunia
kepenulisan. Disela-sela waktu kosong saya sempatkan menulis sebuah cerita di
laptop, selain itu saya juga membebaskan segala perasaan suka duka lewat sebuah
tulisan puisi di status media sosial. Pada liburan semester yang panjang,
hari-hari saya terisi dengan menulis, berimajinasi dan menghabiskan waktu
didepan layar laptop. Suatu hari pernah saya berpikir untuk pindah jurusan, sastra.
Namun setelah saya pikir lagi itu tidak mungkin. Biaya dan waktu tentu akan
terbuang percuma.
Kini
saya tersenyum, lega. Itulah langkah awal penentuan impian saya. Langkah yang
mendadak muncul, tanpa persiapan apapun. Video terus berputar, menampilkan
kisah terakhir saya. Disemester akhir perkuliahan, saya memberanikan diri
mengirim sebuah karya saya yang masih amburadul,
tanpa pernah diedit atau dikoreksi sebelumnya ke salah satu penerbit. Sebuah
novel. Beberapa detik kemudian layar lebar yang terang padam seketika. Hitam
legam. Ruang bioskop sunyi kembali, kosong tanpa suara.
Saya
masih termenung, memandang layar yang telah gelap. Saya rasa saya harus
menyadari sesuatu dari rekaman singkat itu. Yakinlah, sebuah cita-cita yang pernah
terbisik dalam hati perlahan akan terwujud. Meskipun tanpa sebuah bayangan
sebelumnya. Waktulah yang akan menjadi penentu dan kunci dari semuanya.
Perjalanan hidup adalah sekumpulan beberapa titik, dari titik satu pastilah
akan terhubung ke titik-titik yang lain. Membentuk sebuah benang panjang yang
melahirkan kisah-kisah hebat didalamnya. Percayalah juga, waktu tak akan pernah
berkhianat, waktu tentu akan mengantar kita, berhenti dalam ruang akhir yang
teramat berharga. Waktu tak akan membuang dan melempar kita dalam kesesatan,
namun kita hanya perlu mencari tempat lain, titik lain, titik yang akan
menyambung tali kisah hidup kita. Kemana dan dimana kita akan berhenti. Berbahagia.
Kedua
mata saya terpejam, melepas segala gundah dan ketidakrelaan beberapa keputusan
yang telah saya ambil dulu. Saya kembali. Saya menangis. Seseorang tampak heran
disamping saya, bertanya-tanya dengan menyodorkan mikrofon dari tangannya.
Puluhan kamera kembali menjepret. Mereka ingin tahu mengapa tiba-tiba saya
menangis. Saya masih terdiam, hanya menjawab dengan tersenyum.
Karya: Nila Z.R.
Agustus 2017
Mengalir indah.
BalasHapusTerima kasih :)
HapusSangat menarik
BalasHapusIni kan kemarin menang lomba Airiz kan?
BalasHapusMaaf mas bukan, pernah sih diikutkan lomba tapi belum berhasil :)
Hapus