"Terkadang, kita harus berbesar hati untuk berkorban"
Sejenak terbesit sebuah renungan singkat dalam hati ini.
Ah, apa aku masih punya hati? Pertanyaan pertama yang sedetik memaksa jelas terpikir dalam otak dan mata
Apa aku sombong? Ah, mengapa aku selalu menyebutkan sombong setelah ide 7 detik pertama muncul?
Karena pikiranku akan berkutat memikirkan tentang diriku
Semoga tidak, aku menangkis dampak buruk pikiranku yang kedua
Baik, kembali ke 7 detik pertama
Aku menanyakan apakah aku punya hati? Mengapa begitu? Memangnya aku bukan manusia? Apa aku manusia kejam? Apa aku manusia bongkahan es? Apa aku manusia batu? Hingga aku berpikir bahwa diriku tak punya hati?
Tidak, tentu tidak
Alasanku tentang hati ialah karena aku merasa tidak memiliki diriku sendiri, hingga organ paling indah dan paling menakjubkan yaitu hati, luput dari diriku sendiri
Aku bahkan tak mampu mematenkan hati untuk diriku sendiri
Entah mengapa begitu,
Penyebabnya aku tak tahu, sangat tidak jelas dan tak bisa ku deteksi sendiri
Sudah sangat mutlak! Aku butuh analisa orang lain
Memandang diriku dari sudut pandangnya
Menilai apa-apa saja yang sebenarnya terjadi dalam diriku
Memvonis penyakit dalam jasmani dan rohaniku, apa aku benar-benar sakit?
...
Aku nyatanya hidup dengan segala kesempurnaan hidup
Tak kurang suatu apapun
Tapi... sayangnya aku memilikinya kurang dari 100%
Serpihan-serpihan bahagia terkadang sulit kurasakan, karena kepemilikan hatiku yang menghantam ruang orang lain, tak berbekas sama sekali dalam diriku
Aku melakukan apa saja dengan ketidaksadaran bahwa aku telah menderita
Kesenanganku seperti bukan miliku, tapi milik mereka entah siapa namanya?
Hingga sampai diwaktu yang sepi, aku baru sadar, betapa yang kugenggam hanyalah kekosongan dan ketiadaan yang hampa
Manis dan pahit serasa sama saja
Aku mengunyah sepah yang hambar tanpa makna
Aku habis...
Aku nyatanya hidup dengan segala kesempurnaan hidup
Tak kurang suatu apapun
Tapi... sayangnya aku memilikinya kurang dari 100%
Serpihan-serpihan bahagia terkadang sulit kurasakan, karena kepemilikan hatiku yang menghantam ruang orang lain, tak berbekas sama sekali dalam diriku
Aku melakukan apa saja dengan ketidaksadaran bahwa aku telah menderita
Kesenanganku seperti bukan miliku, tapi milik mereka entah siapa namanya?
Hingga sampai diwaktu yang sepi, aku baru sadar, betapa yang kugenggam hanyalah kekosongan dan ketiadaan yang hampa
Manis dan pahit serasa sama saja
Aku mengunyah sepah yang hambar tanpa makna
Aku habis...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar