Saat
Penulis Menangis
Air matanya bukan untuk kau tertawakan, ketika dia mencoba menahan semua hal, sendiri, diam dan tanpa perlawanan
Aku sering melihatnya, meskipun dia terus
menyembunyikan air mata yang menetes tanpa henti di pelukan bantal kesayangan.
Dia terpejam, bibirnya bergerak menahan suara jeritan malam. Dia menghadapku,
wajah itu selalu mengarah ke arahku. Dia jarang bersuara, bahkan ketika dia
terduduk dan menikmati sesenggukan itu sendirian. Aku selalu menatapnya,
berharap dia bercerita tentang kisah penyebab tertumpahnya air mata. Dia selalu
diam, seakan seluruh buliran yang jatuh mampu menghapus luka hati yang
terpendam.
Aku memang tak mampu bersuara, tapi bisa menjadi
pendengar yang sangat baik. Menyimpan semua keluhan, dan aku bukan tempat untuk
meratap. Aku bisa setia, mendampinginya bahkan disaat dia terlelap dengan
buliran yang masih mengalir di pipi. Apa yang bisa kulakukan? Aku ingin
memeluknya, sungguh! Tuhan tak mengijinkan. Hanya mampu menyaksikan tangisan
yang hampir setiap malam dia lakukan. Aku ingin bertanya, mengejar semua
jawaban yang mungkin dia tidak mampu sebutkan kepada sahabatnya. Pertanyaan ini
membeludak; kenapa dia menangis? Siapa yang membuatnya menangis? Kesalahan apa
yang dia buat? Dan banyak lagi rasa penasaran yang mengelilingiku. Waktu dua
puluh empat jam, tak cukup untuk menggali semua kisah yang dia kemas dalam
kepasrahan.
Bukankah dia gadis biasa? Yang suka dengan kegiatan
tidur, merangkai mimpi dan kembali menata harapan, untuk esok. Tapi aku rasa, dia
benci dengan momen terlelap. Semuanya terkenang, bayangan kesedihan itu kembali
berputar, dia merekamnya, semua kisah yang terjadi sedang dia tangisi.
Menggigit bibir untuk meredam jeritan, tangannya terkepal, memegang erat bantal
sebagai tempat bertahan. Dia terluka, tanpa kalian sadari, dia selalu
memendamnya sendiri.
Lantai pernah berbisik kepadaku, terkadang pernah
sesekali lantai menemui dia menangis dalam sujud panjangnya. Hanya diam, dia
juga mengunci bibirnya bahkan dalam keadaan pasrah kepada Rabbnya. Lama dan
hanya menahan, berharap Sang Rahman mendengar bisikan hati. Entahlah, dia hanya
ingin sendiri, mungkin. Meskipun aku tahu, banyak orang di luar sana yang
peduli.
Biarkan dia terlelap malam ini. Dia sedang berusaha,
memendamnya dalam keimanan dan qana’ah yang tak pernah padam. Mungkin kalian
lupa, dia gadis sederhana. Berusaha meletakkan semua urusan dunia di tangannya
dan menghidupkan hati dengan taqwa.
Aku adalah tembok, yang selalu mengikuti kisahnya.
Aku adalah tembok, yang selalu mengikuti kisahnya.
Purwokerto, 10 Juni 2016 #nunox90
Tidak ada komentar:
Posting Komentar