Follow Us @nila_zulva

Selasa, 23 Januari 2018

LEBIH KERAS DARI BATU?


LEBIH KERAS DARI BATU?

Ini bukan tentang alam, bukan pula batu itu sendiri meski judul tulisan ini menyematkan kata batu sebelum tanda tanya dibagian akhirnya, tapi tentang heran, bingung, dan perasaan sebuah hati. Batu mungkin memang pantas menyandang predikat keras secara umum, karena itu anugerah teristimewa dari alam untuknya. Namun, apalagi sesuatu yang keras selain batu? Adakah? Iya ada. Kekerasan yang tersimpan begitu dalam di hati seorang gadis desa yang baik hati dan kalem. Bahkan dalam kelembutanpun terdapat titik keras di sana. Ingatlah nasehat ini, jangan meremehkan marahnya seorang penyabar.
Kisah ini diawali dengan kata diam, sepi, dan kesendirian. Gadis desa yang lugu, masih kecil. Siang hari sepulang dari sekolah taman kanak-kanak ia habiskan untuk menonton tv kartun atau bermain dengan dua teman sekaligus tetangganya. Terkadang, ia asyik memandang layar kaca televisi ditemani oleh sang ayah. Saat bermain, ia sama semangatnya seperti yang lain. Lompat, lari, dan serius berkreasi membuat replika masakan dari rumput dan tanah. Selanjutnya... “tong, tong, tong!”, “tulalit, tulalit, tulalit!”
Penjual es kado, es cream, dan yang lain-lainnya selalu melintasi depan rumahnya, siang atau sore hari. Mereka, tetangganya, berteriak histeris mendekati sang penjual, mengacungkan tangan dan sibuk mengoceh memilih satu produk yang diinginkan. Si gadis tidak turut dibarisan dekat gerobak penjual. Jauh... ia berdiri dari balik jendela hitam transparan di rumahnya, menelan ludah. Hari terus berganti, begitu pula bulan dan tahun. Gadis itu masih sama polosnya, ia kini sudah duduk di bangku sekolah dasar. Ah... masih dengan kasus yang sama.
Gadis itu suka sekali bersepedah, ia hampir tak pernah merasa lelah mengayuh sepedah kecilnya setiap hari, bahkan di hari minggu. Pagi buta setiap hari libur, ia selalu menyempatkan untuk pergi berkeliling desa, memandang sawah, gunung yang mungil dari jauh, langit sang fajar, atau ke pusat kota yang riuh oleh manusia. Ia tidak sendiri, ia pergi bersama teman-temannya. Sakunya selalu melompong. Menit hampir ke 60, ia merasa lelah namun sebisa mungkin ia sembunyikan. Nikmat sekali, seplastik gorengan dan es. Bukan, gadis itu menggeleng, temannya sibuk mengunyah. Ia sudah terlalu sering terpaksa menengadahkan tangan, kali ini ia tegas! Tidak perlu! Ia tidak mau merepotkan mereka lagi! Ah.. tapi tetap saja, ia meringis diam-diam, menahan perut dan nafsunya. Ia tidak apa-apa.
Tahun ke enam di bangku sekolah dasar. Ada banyak benda baru ditahun ini. Jutaan rupiah, canggih, dan sangat mengasyikkan ketika kau memilikinya. Pandangannya masih sama seperti sekitar enam tahun yang lalu. Gadis itu selalu diam, dengan lirikan meneropong dari kejauhan. Nafasnya selalu berat berhembus. Lihat! Dua lingkaran yang berputar dengan besinya yang berkilau! Ada rem cakram dan keranjangnya yang serasi! Juga sebuah bel kecil yang melengking nyaring ketika disentuh! Indah! Gadis itu pulang dari sekolahnya, kali ini tidak lagi menonton kartun di tv atau bermain, namun ia sibuk menata meja, kertas, dan meraut pensilnya. Ia mempersiapkan diri, melukis imajinasinya yang nyaris meledak dalam kepalanya yang sempit, ke selembar kertas putih bergaris. Tangannya lincah mencoret, menggambar garis dan titik lalu saling menghubungkannya. Senyumnya mengembang seperti bunga matahari yang merekah! Selesai! Sungguh menit-menit yang tak sepatah kata pun bisa terucap ketika hati dan kepalamu sedang sibuk berkolaborasi. Sebuah gambar sepedah, mimpi kecilnya. Pula mimpi malamnya, tak pernah absen dari kayuhan sepedah baru yang luar biasa. Gadis lugu itu bahkan bisa membayangkan aroma benda baru yang baru saja menggelinding dari toko.
Apalagi? Sebuah benda batangan tipis yang canggih berteknologi! Akhirnya lahir ke dunia di abad 20. Apapun bisa kau lakukan hanya dengan menekan beberapa tombol. Ya! Handphone! Gadis itu semakin meringis lebar, bukan! Ia bahagia, pura-pura. Kesepuluh jemari dan kedua telapak tangannya hanya bisa berdekatan erat memeluk kekosongan. Bagaimana kabarnya? Kabar hatinya? Ia pulang... lagi. Gadis itu kini lebih akrab dengan imajinasinya dibanding teman-temannya. Ia mencoret kertas putih bergarisnya lagi, halaman selanjutnya. Tidak serumit kemarin, gambarnya kini lebih sederhana namun cukup menggugah perasaan dan hasrat palsunya. Pejaman matanya ialah separuh dunianya yang tak sempat terbangun nyata. Ah... efek samping, seperti obat keras. Gadis itu tumbuh semakin tenang, diam.
Mata cokelatnya lurus memandang, hampa. Kini ia terbang, terlampau jauh, melamun. Sekolah menengah pertama. Dunia baru yang mengerikan, bagai sayur tanpa garam atau gula, hambar. Gadis itu kehilangan rasa. Tidak! Semuanya normal, berjalan seperti seharusnya, terlihat begitu. Namun siapa yang tahu, sesuatu yang tidak beres sedang tumbuh dalam hati gadis itu. temannya yang dulu bukanlah yang sekarang, sungguh berbeda. Sedangkan temannya yang baru bukanlah teman, namun jebakan. Jenjang yang lebih rendah telah sukses mengukir luka abadi dalam sisi hatinya. Trauma. Ia berdiri sendirian dalam satu sudut yang paling sudut, tak satupun sepasang langkah kaki yang begitu dekat dengan sepasang pijakannya. Sadar atau tidak, sakit tetaplah sakit. Sayang sekali, sekarang ia harus masuk ke beberapa lubang curam yang lebih dalam tentang kesendirian dan kepalsuan. Periode ini seperti sebuah episode bersambung dari cerita buruk masa lalunya.
Prinsipnya lahir disini. Gadis itu bulat mencetuskan sebuah pedoman. Ia terlalu kenyang melahap ajakan yang erat kaitannya dengan kebohongan. “sahabat hanyalah mitos, tidak lebih dari itu!”
Sekolah menengah atas. Angka 17 ada dimasa ini. Tahun dimana manusia mencapai salah satu puncak kebahagiaan, katanya. Banyak diantaranya yang bahkan meng-andaikan dapat mengulangnya sekali lagi, atau lebih. Ketika banyak remaja seusianya begitu lama menebar tawa, tidak baginya. Bukan! Sekali lagi, semuanya normal! Namun, tidak ada kepuasan yang hadir dalam dirinya, gadis itu tertawa, tentu saja! Terpingkal-pingkal! Ia bisa meringis lebar, selebar teman-temannya. Dirinya seperti sebatang kara yang semakin padat, ombak pun mengeluh, sukar menggerusnya. Begitu pula angin, ia tak pernah mengikis sedikitpun. Gadis itu tumbuh lagi, menyedihkan. Ia tak pernah merasa benar-benar terkasihi, tersayangi, atau terhibur dalam keramaian. Ia tetaplah satu, satu yang selalu kesepian dalam keriuhan. Mengapa dan apa? Ia terus bertanya-tanya.
Ia tak pernah bisa memulangkan rindunya. Gadis itu tak pernah tepat membagikan rasa sayangnya. Ia tak tahu harus berbahagia dengan siapa? Karena ia tak pernah menemukan keluarganya yang kedua. Hatinya sungguh berbeda. Ia tak lagi bisa merasakan perasaan yang seharusnya ia suguhkan. Kata hatinya bukan lagi kain sutera imajinasinya, namun bongkahan batu di mata orang lain. Ia heran, bingung, dan tak habis pertanyaan. Ketika orang lain sibuk saling melempar suara, ia hanya memandang kosong, diam.
“mengapa orang lain begitu mudah menyematkan kasihnya pada seseorang?”
“mengapa orang lain begitu mudah memilih orang teristimewanya?”
“mengapa rinduku tak pernah merapat ke hati seseorang?”
“mengapa aku sulit mengucapkan ‘aku rindu seperti ini lagi, keluarga keduaku...’ seperti itu?”
“apa aku jahat?”
“apa hatiku sekeras batu dan sedingin es?”

“aku harus bagaimana?”

By: NZR
12 Januari 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar