LEBIH KERAS DARI BATU?
Ini bukan
tentang alam, bukan pula batu itu sendiri meski judul tulisan ini menyematkan
kata batu sebelum tanda tanya dibagian akhirnya, tapi tentang heran, bingung,
dan perasaan sebuah hati. Batu mungkin memang pantas menyandang predikat keras
secara umum, karena itu anugerah teristimewa dari alam untuknya. Namun, apalagi
sesuatu yang keras selain batu? Adakah? Iya ada. Kekerasan yang tersimpan
begitu dalam di hati seorang gadis desa yang baik hati dan kalem. Bahkan dalam
kelembutanpun terdapat titik keras di sana. Ingatlah nasehat ini, jangan
meremehkan marahnya seorang penyabar.
Kisah ini
diawali dengan kata diam, sepi, dan kesendirian. Gadis desa yang lugu, masih
kecil. Siang hari sepulang dari sekolah taman kanak-kanak ia habiskan untuk
menonton tv kartun atau bermain dengan dua teman sekaligus tetangganya.
Terkadang, ia asyik memandang layar kaca televisi ditemani oleh sang ayah. Saat
bermain, ia sama semangatnya seperti yang lain. Lompat, lari, dan serius
berkreasi membuat replika masakan dari rumput dan tanah. Selanjutnya... “tong,
tong, tong!”, “tulalit, tulalit, tulalit!”
Penjual es
kado, es cream, dan yang lain-lainnya selalu melintasi depan rumahnya, siang
atau sore hari. Mereka, tetangganya, berteriak histeris mendekati sang penjual,
mengacungkan tangan dan sibuk mengoceh memilih satu produk yang diinginkan. Si
gadis tidak turut dibarisan dekat gerobak penjual. Jauh... ia berdiri dari
balik jendela hitam transparan di rumahnya, menelan ludah. Hari terus berganti,
begitu pula bulan dan tahun. Gadis itu masih sama polosnya, ia kini sudah duduk
di bangku sekolah dasar. Ah... masih dengan kasus yang sama.
Gadis itu suka
sekali bersepedah, ia hampir tak pernah merasa lelah mengayuh sepedah kecilnya
setiap hari, bahkan di hari minggu. Pagi buta setiap hari libur, ia selalu
menyempatkan untuk pergi berkeliling desa, memandang sawah, gunung yang mungil
dari jauh, langit sang fajar, atau ke pusat kota yang riuh oleh manusia. Ia
tidak sendiri, ia pergi bersama teman-temannya. Sakunya selalu melompong. Menit
hampir ke 60, ia merasa lelah namun sebisa mungkin ia sembunyikan. Nikmat
sekali, seplastik gorengan dan es. Bukan, gadis itu menggeleng, temannya sibuk
mengunyah. Ia sudah terlalu sering terpaksa menengadahkan tangan, kali ini ia
tegas! Tidak perlu! Ia tidak mau merepotkan mereka lagi! Ah.. tapi tetap saja,
ia meringis diam-diam, menahan perut dan nafsunya. Ia tidak apa-apa.
Tahun ke enam
di bangku sekolah dasar. Ada banyak benda baru ditahun ini. Jutaan rupiah,
canggih, dan sangat mengasyikkan ketika kau memilikinya. Pandangannya masih
sama seperti sekitar enam tahun yang lalu. Gadis itu selalu diam, dengan
lirikan meneropong dari kejauhan. Nafasnya selalu berat berhembus. Lihat! Dua lingkaran
yang berputar dengan besinya yang berkilau! Ada rem cakram dan keranjangnya
yang serasi! Juga sebuah bel kecil yang melengking nyaring ketika disentuh! Indah!
Gadis itu pulang dari sekolahnya, kali ini tidak lagi menonton kartun di tv
atau bermain, namun ia sibuk menata meja, kertas, dan meraut pensilnya. Ia
mempersiapkan diri, melukis imajinasinya yang nyaris meledak dalam kepalanya
yang sempit, ke selembar kertas putih bergaris. Tangannya lincah mencoret,
menggambar garis dan titik lalu saling menghubungkannya. Senyumnya mengembang
seperti bunga matahari yang merekah! Selesai! Sungguh menit-menit yang tak
sepatah kata pun bisa terucap ketika hati dan kepalamu sedang sibuk
berkolaborasi. Sebuah gambar sepedah, mimpi kecilnya. Pula mimpi malamnya, tak
pernah absen dari kayuhan sepedah baru yang luar biasa. Gadis lugu itu bahkan
bisa membayangkan aroma benda baru yang baru saja menggelinding dari toko.
Apalagi?
Sebuah benda batangan tipis yang canggih berteknologi! Akhirnya lahir ke dunia
di abad 20. Apapun bisa kau lakukan hanya dengan menekan beberapa tombol. Ya! Handphone! Gadis itu semakin meringis
lebar, bukan! Ia bahagia, pura-pura. Kesepuluh jemari dan kedua telapak
tangannya hanya bisa berdekatan erat memeluk kekosongan. Bagaimana kabarnya?
Kabar hatinya? Ia pulang... lagi. Gadis itu kini lebih akrab dengan
imajinasinya dibanding teman-temannya. Ia mencoret kertas putih bergarisnya
lagi, halaman selanjutnya. Tidak serumit kemarin, gambarnya kini lebih
sederhana namun cukup menggugah perasaan dan hasrat palsunya. Pejaman matanya
ialah separuh dunianya yang tak sempat terbangun nyata. Ah... efek samping,
seperti obat keras. Gadis itu tumbuh semakin tenang, diam.
Mata
cokelatnya lurus memandang, hampa. Kini ia terbang, terlampau jauh, melamun.
Sekolah menengah pertama. Dunia baru yang mengerikan, bagai sayur tanpa garam atau
gula, hambar. Gadis itu kehilangan rasa. Tidak! Semuanya normal, berjalan
seperti seharusnya, terlihat begitu. Namun siapa yang tahu, sesuatu yang tidak
beres sedang tumbuh dalam hati gadis itu. temannya yang dulu bukanlah yang
sekarang, sungguh berbeda. Sedangkan temannya yang baru bukanlah teman, namun
jebakan. Jenjang yang lebih rendah telah sukses mengukir luka abadi dalam sisi
hatinya. Trauma. Ia berdiri sendirian dalam satu sudut yang paling sudut, tak
satupun sepasang langkah kaki yang begitu dekat dengan sepasang pijakannya.
Sadar atau tidak, sakit tetaplah sakit. Sayang sekali, sekarang ia harus masuk
ke beberapa lubang curam yang lebih dalam tentang kesendirian dan kepalsuan. Periode
ini seperti sebuah episode bersambung dari cerita buruk masa lalunya.
Prinsipnya
lahir disini. Gadis itu bulat mencetuskan sebuah pedoman. Ia terlalu kenyang
melahap ajakan yang erat kaitannya dengan kebohongan. “sahabat hanyalah mitos,
tidak lebih dari itu!”
Sekolah
menengah atas. Angka 17 ada dimasa ini. Tahun dimana manusia mencapai salah
satu puncak kebahagiaan, katanya. Banyak diantaranya yang bahkan meng-andaikan
dapat mengulangnya sekali lagi, atau lebih. Ketika banyak remaja seusianya
begitu lama menebar tawa, tidak baginya. Bukan! Sekali lagi, semuanya normal!
Namun, tidak ada kepuasan yang hadir dalam dirinya, gadis itu tertawa, tentu
saja! Terpingkal-pingkal! Ia bisa meringis lebar, selebar teman-temannya.
Dirinya seperti sebatang kara yang semakin padat, ombak pun mengeluh, sukar
menggerusnya. Begitu pula angin, ia tak pernah mengikis sedikitpun. Gadis itu
tumbuh lagi, menyedihkan. Ia tak pernah merasa benar-benar terkasihi,
tersayangi, atau terhibur dalam keramaian. Ia tetaplah satu, satu yang selalu
kesepian dalam keriuhan. Mengapa dan apa? Ia terus bertanya-tanya.
Ia tak pernah
bisa memulangkan rindunya. Gadis itu tak pernah tepat membagikan rasa
sayangnya. Ia tak tahu harus berbahagia dengan siapa? Karena ia tak pernah
menemukan keluarganya yang kedua. Hatinya sungguh berbeda. Ia tak lagi bisa
merasakan perasaan yang seharusnya ia suguhkan. Kata hatinya bukan lagi kain
sutera imajinasinya, namun bongkahan batu di mata orang lain. Ia heran,
bingung, dan tak habis pertanyaan. Ketika orang lain sibuk saling melempar
suara, ia hanya memandang kosong, diam.
“mengapa orang
lain begitu mudah menyematkan kasihnya pada seseorang?”
“mengapa orang
lain begitu mudah memilih orang teristimewanya?”
“mengapa
rinduku tak pernah merapat ke hati seseorang?”
“mengapa aku
sulit mengucapkan ‘aku rindu seperti ini lagi, keluarga keduaku...’ seperti
itu?”
“apa aku
jahat?”
“apa hatiku
sekeras batu dan sedingin es?”
“aku harus
bagaimana?”
By: NZR
12 Januari 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar