DOSEN SEKILLER APA?
Bismillahirrahmanirrahim
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh
Halo ma bru and sist! Yes,
akhirnya ada ide yang pengen banget gw tulis di blog!
Btw, gw pake bahasa lu gw ya,
biar ceritanya ngalir kayak air sungai Bedadung, ehehe... yup!
BTW menurutmu bahasa ngene ki alay gak sih, menurutku sih iyo, alah gak
opo-opo, ngalay ora doso... wes! Cukup!
D . O . S . E . N
Dosen itu seorang pengajar yang
sebangsa dengan guru. Guru tugasnya, kalau berdasarkan UUD 1945, yaitu
mencerdaskan kehidupan bangsa, kalau dalam pendidikan dosen memiliki kewajiban
mencerdaskan, mengajar, dan mendidik, serta membagikan ilmu, menyalurkan ilmu
pada seluruh generasi yang sedang menempuh pendidikan. Yeah! Intine ngono
Pendidikan di Indonesia ada
beberapa tingkatan, seperti ini:
Playgroup sederajat
TK/RA/sederajat
SD/MI/sederajat
SMP/MTsN/sederajat
SMA/MAN/SMK/SMU/sederajat
S1/Diploma/sederajat
S2
S3
Opo maneh? Wes cukup ya
Nah! Dari tingkatan pendidikan
tersebut, yang namanya pendidikan pasti memiliki pengajar/pendidik. Menurut gw,
tipe-tipe pengajar/pendidik ini, dapat dibedakan pula sesuai tingkatan dalam
pendidikan, khususnya kalau diambil dari sisi ke...disiplinan, atau
kedisiplinan akut alias ke-killer-an,
ehehe...
Namun, tingkat... apa ya? killer itu Bahasa Indonesianya gimana
ini? Enaknya? Ehehe... yah, killer
gitu pokoknya
Jadi, tingkat killer dari seorang pengajar/pendidik
menurut gw yang paling terasa ialah saat jenjang pendidikan sarjana, yeah! Of course! Karena ketika ditingkat
sarjana, manusia sudah berproses menuju fase hidup kedewasaan, bukan anak kecil
lagi, bukan remaja lagi yang bisa dikendalikan, diatur, ditipu, dibohongi atau
semacamnya (peace)
Manusia penghuni pendidikan
sarjana atau gedung kampus bisa saja bertindak apapun dan tak terduga, karena
cara berpikir mereka yang sudah sedikit demi sedikit keluar dari batas-batas
aman, ehehe... understand? Jadi,
terkait hal tersebut, tentu juga diperlukan pendidik/pengajar yang siap, sigap,
dan fleksibel (omong opo toh iki?!)
Intinya, gw bingung dengan
beberapa pengajar yang gw temui selama gw nempuh pendidikan dari TK sampai
kuliah ini. Kenapa bingung? Sejujurnya, gw sama sekali tidak ingin berkomentar
apapun terhadap seseorang yang menyandang gelar guru, guru apapun itu! Menurut gw,
guru itu bagaimanapun orangnya, harus tetap dimuliakan dan dihormati. Apapun ilmu
yang diajarkan dan diucapkan oleh seorang guru, menurut gw adalah suatu berkah
yang luar biasa, karena itu ilmu, ilmu apapun! Namun, kadang-kadang, beberapa
karakter seorang guru menurut gw, kontradiksi dengan seperti apa seharusnya
seorang guru. Khususnya dari cara beliau-beliau itu mengajar, juga pada
pandangan beliau terhadap manusia era milenial. Ku simpulkan, memang era
milenial bisa dikatakan era yang serba canggih, mudah, cepat, dan serba ada,
sehingga memungkinkan manusia di era ini, justru cenderung banyak malasnya dan
tanpa sadar juga telah terjadi pengikisan moral. Maka, dari kesimpulan gw itu,
para guru yang masuk periode sebelum tahun 2000 an, memiliki perasaan yang agak
jengkel, atau geleng-geleng kepala melihat tingkah polah anak muda zaman
sekarang, yang bisa jadi mereka nilai kurang greget dalam berjuang dan bekerja
keras, alhasil, sistem lama yang keras dan syarat akan disiplin tinggi tetap
teguh beliau terapkan di tengah era milenial seperti ini.
Hm.. mungkinkah begitu, karena
periode yang sudah berbeda? Karena dari hasil pengamatan dan analisisku
pribadi, beberapa karakter guru yang killer
ialah guru yang sudah berumur lebih dari setengah abad. Ehehe... mereka seperti
memiliki ciri khasnya sendiri, begitu tegas, kuat, keras, dan... cerdas
pastinya. Namun, kadang-kadang, kalau tak pikir-pikir... sistem yang keras
seperti itu memang perlu sedikit dilunakkan, agar bisa disesuaikan dan dicerna
oleh manusia zaman sekarang. Tapi, sebenarnya tidak salah juga dengan sistem
disiplin tinggi seperti itu, toh ketika sistem itu diterapkan di zaman dulu,
terbukti sudah banyak mencetak tokoh-tokoh yang luar biasa. Namun pertanyaannya,
mengapa manusia zaman sekarang tidak bisa dikerasi seperti itu? Karena apa? Apa
karena telah terjadi perubahan pola pikir atau sikap dari manusia yang secara
global dan menyeluruh seperti itu secara tidak sadar? Wkwk mboh aku ngomong opo, ra ngerti
STUDI KASUS!
Beberapa contoh sikap seorang
dosen era lama yang sulit masuk dan dicerna logika gw ialah
ketika seorang dosen mengajar,
lalu bertanya kepada mahasiswanya [mungkin nge-tes tingkat pemahaman], lalu
ketika si mahasiswa menjawab, maka yang terjadi, segala bentuk, kreasi, dan ungkapan
hasil pemahaman si mahasiswa akan disalahkan tanpa pertimbangan apapun! Why? What’s wrong? Dan ketika salah
seorang mahasiswa ditunjuk dan disuruh menjawab pertanyaan dan ternyata dia
malah bingung karena belum paham dan akhirnya diam, justru lebih parah, tidak
hanya disalahkan namun juga dapat bonus caci maki. Kalau pun ada mahasiswa yang
mencoba menjawab dengan jawaban yang agak sedikit bagus, tetap, perlakuan yang
didapat tidak jauh lebih baik dari dua mahasiswa sebelumnya. Yah.. mungkin
beliau menginginkan jawaban yang perfect,
yang terbaik, dan beliau menuntut mahasiswa agar menjadi cerdas, tidak
malas-malasan, rajin membaca buku dan
literatur apapun, tapi... yang terakhir ini, boro-boro baca buku, anak
zaman sekarang memang kebangetan juga menurutku [aku pisan!], coba, survey, berapa kali mereka membaca buku dalam
seminggu? Tidak! Berapa kali mereka membuka buku dalam sehari? Berapa menit
mereka membaca buku dalam sehari? Atau lebih parah, mereka pernah nyentuh buku
sehari berapa kali? Ouch!
Lebih heran lagi, kadang-kadang,
mahasiswa yang bertanya justru dipermasalahkan, lah, la mahasiswa kan memang masih bodoh dan tidak tahu, makanya
sekolah lalu bertanya, tapi justru mengapa yang diterima ialah jawaban semprot
dan caci-maki? Alasannya, beliau menilai pertanyaan yang terlontar sangat tidak
berkualitas untuk jenjang sarjana. Ah... gw
semakin nggak ngerti
Nah! Dari kasus itu, dapat
disimpulkan, bagaimanapun sikap mahasiswa, baik diam, menjawab, maupun
memberikan jawaban yang dirasa terbaik, atau dalam hal bertanya, maka respon
yang pasti didapat ialah tetap salah dan bonus caci maki. Pripun? Kalau begitu caranya ya... gw nggak heran, kalau dipertemuan
selanjutnya, ruang kelas akan kehilangan setengah penduduknya, atau lebih
parah, kosong melompong, minggat semua peserta didiknya. Siapa juga yang mau
belajar dengan perlakuan seperti itu? Lalu bagaimana dengan sikap yang
seharusnya ditunjukkan oleh seorang pengajar yang bertugas mencerdaskan bangsa?
Mentransfer ilmu dengan cara terbaik agar ilmu itu sampai dengan selamat dan
utuh ke dalam pikiran peserta didiknya? Sikap mengayomi, sabar, telaten, dan
sejenisnya? Gw sama sekali nggak menemukan itu
LAGI,
Ketika dosen yang telah selesai
mengajar lalu memberikan tugas kepada mahasiswa [tugas ditujukan agar mahasiswa
belajar, oke setuju, masuk Pak Eko], beberapa dosen justru menunjukkan sikap
yang juga kontradiksi. Dosen adalah tempat mengadukan segala pertanyaan yang
relevan, bukankah seharusnya seperti itu? Tapi nyatanya, ada yang tidak seperti
itu, ada yang bertanya malah disemprot, hadeh. Begini, sikap tidak mau tahu! Itu,
kadang kutemukan dosen yang memiliki sikap yang tidak mau tahu dengan
mahasiswanya, pokoknya tugasnya itu, harus dikerjakan dan dikumpulkan minggu
depan, dan harus benar 1 juta persen! TITIK! Padahal, nyatanya seluruh
mahasiswa tidak ada yang paham sedikitpun ilmu yang diajarkan beliau. Kenapa tidak
paham? Balik ke kasus sebelumnya, proses belajar yang penuh bonus caci maki
sana-sini sudah pasti akan membuat risih dan malas para mahasiswa untuk
belajar, alhasil, ilmu yang ditransfer tidak sampai ke otak dan menjadi tidak
paham
LAGI, [terakhir]
Tugas yang tidak
tanggung-tanggung. Coba dirangkai dan diurutkan dari kasus awal sampai terakhir
ini, mari, sikap mahasiswa baik yang diam, menjawab, atau bertanya justru
dipermasalahkan dan dicaci maki, sehingga menyebabkan mahasiswa ogah-ogahan
masuk kelas apalagi mengikuti kegiatan belajar, pasti malas. Hasilnya, tidak
ada yang mengerti pelajaran yang ditempuh dan dipelajari. Selanjutnya, diperparah
dengan tugas yang meluncur rutin setiap minggu plus kesulitan tugas yang luar
biasa. Bagaimana cara mahasiswa ini menggarap semua itu? Ehehe...
Maka yang terjadi akan seperti
ini, dosen tetap seperti biasa, menggugurkan kewajibannya (ngajar), lalu memberi
tugas, dan tidak mau tahu dan marah-marah, pokoknya tugas harus selesai tepat
waktu dan benar. Sedangkan mahasiswanya, semakin hari semakin jengkel, malas,
dan bisa jadi menaruh rasa tidak suka dengan seorang dosen itu. Semakin sulit
mengerjakan tugas, semakin sering kena semprot, dan akhirnya stress atau lebih
parah menjadi depresi
Hm... siapa yang harus
disalahkan? Sistem mengajar yang terlalu keras yang diterapkan dosen atau
memang dasar mahasiswanya yang dableg dan terlalu malas?
Aku tidak tahu, yang jelas, waktu
telah merubah segalanya, dan disadari atau tidak, segalanya juga terpaksa harus
menyesuaikan juga, mau tidak mau...
Hm... tulisan ini hanya opini dan
mungkin juga unek-unek di kepala yang seharusnya jika dituliskan bisa terurai lebih
banyak dari ini
Pengajar yang ada dikepalaku ialah seseorang yang memiliki sikap dan
sifat seperti seorang ibu saat sedang mengasuh anaknya yang masih balita,
seperti itu
Sekian, mohon maaf, dan terima
kasih
Salam coret!
Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh
By: NZR
Keyakinanku tetap
seperti ini, bagaimanapun seorang pengajar, mereka tetap harus dimuliakan dan
dihormati
Anggap mereka sama
seperti kedua orang tua
*aku tidak membicarakan pengecualian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar