Follow Us @nila_zulva

Senin, 04 Februari 2019

DOSEN SEKILLER APA?



DOSEN SEKILLER APA?

Bismillahirrahmanirrahim

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Halo ma bru and sist! Yes, akhirnya ada ide yang pengen banget gw tulis di blog!

Btw, gw pake bahasa lu gw ya, biar ceritanya ngalir kayak air sungai Bedadung, ehehe... yup!

BTW menurutmu bahasa ngene ki alay gak sih, menurutku sih iyo, alah gak opo-opo, ngalay ora doso... wes! Cukup!

D . O . S . E . N

Dosen itu seorang pengajar yang sebangsa dengan guru. Guru tugasnya, kalau berdasarkan UUD 1945, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa, kalau dalam pendidikan dosen memiliki kewajiban mencerdaskan, mengajar, dan mendidik, serta membagikan ilmu, menyalurkan ilmu pada seluruh generasi yang sedang menempuh pendidikan. Yeah! Intine ngono
Pendidikan di Indonesia ada beberapa tingkatan, seperti ini:

Playgroup sederajat
TK/RA/sederajat
SD/MI/sederajat
SMP/MTsN/sederajat
SMA/MAN/SMK/SMU/sederajat
S1/Diploma/sederajat
S2
S3

Opo maneh? Wes cukup ya

Nah! Dari tingkatan pendidikan tersebut, yang namanya pendidikan pasti memiliki pengajar/pendidik. Menurut gw, tipe-tipe pengajar/pendidik ini, dapat dibedakan pula sesuai tingkatan dalam pendidikan, khususnya kalau diambil dari sisi ke...disiplinan, atau kedisiplinan akut alias ke-killer-an, ehehe...

Namun, tingkat... apa ya? killer itu Bahasa Indonesianya gimana ini? Enaknya? Ehehe... yah, killer gitu pokoknya

Jadi, tingkat killer dari seorang pengajar/pendidik menurut gw yang paling terasa ialah saat jenjang pendidikan sarjana, yeah! Of course! Karena ketika ditingkat sarjana, manusia sudah berproses menuju fase hidup kedewasaan, bukan anak kecil lagi, bukan remaja lagi yang bisa dikendalikan, diatur, ditipu, dibohongi atau semacamnya (peace)

Manusia penghuni pendidikan sarjana atau gedung kampus bisa saja bertindak apapun dan tak terduga, karena cara berpikir mereka yang sudah sedikit demi sedikit keluar dari batas-batas aman, ehehe... understand? Jadi, terkait hal tersebut, tentu juga diperlukan pendidik/pengajar yang siap, sigap, dan fleksibel (omong opo toh iki?!)

Intinya, gw bingung dengan beberapa pengajar yang gw temui selama gw nempuh pendidikan dari TK sampai kuliah ini. Kenapa bingung? Sejujurnya, gw sama sekali tidak ingin berkomentar apapun terhadap seseorang yang menyandang gelar guru, guru apapun itu! Menurut gw, guru itu bagaimanapun orangnya, harus tetap dimuliakan dan dihormati. Apapun ilmu yang diajarkan dan diucapkan oleh seorang guru, menurut gw adalah suatu berkah yang luar biasa, karena itu ilmu, ilmu apapun! Namun, kadang-kadang, beberapa karakter seorang guru menurut gw, kontradiksi dengan seperti apa seharusnya seorang guru. Khususnya dari cara beliau-beliau itu mengajar, juga pada pandangan beliau terhadap manusia era milenial. Ku simpulkan, memang era milenial bisa dikatakan era yang serba canggih, mudah, cepat, dan serba ada, sehingga memungkinkan manusia di era ini, justru cenderung banyak malasnya dan tanpa sadar juga telah terjadi pengikisan moral. Maka, dari kesimpulan gw itu, para guru yang masuk periode sebelum tahun 2000 an, memiliki perasaan yang agak jengkel, atau geleng-geleng kepala melihat tingkah polah anak muda zaman sekarang, yang bisa jadi mereka nilai kurang greget dalam berjuang dan bekerja keras, alhasil, sistem lama yang keras dan syarat akan disiplin tinggi tetap teguh beliau terapkan di tengah era milenial seperti ini.

Hm.. mungkinkah begitu, karena periode yang sudah berbeda? Karena dari hasil pengamatan dan analisisku pribadi, beberapa karakter guru yang killer ialah guru yang sudah berumur lebih dari setengah abad. Ehehe... mereka seperti memiliki ciri khasnya sendiri, begitu tegas, kuat, keras, dan... cerdas pastinya. Namun, kadang-kadang, kalau tak pikir-pikir... sistem yang keras seperti itu memang perlu sedikit dilunakkan, agar bisa disesuaikan dan dicerna oleh manusia zaman sekarang. Tapi, sebenarnya tidak salah juga dengan sistem disiplin tinggi seperti itu, toh ketika sistem itu diterapkan di zaman dulu, terbukti sudah banyak mencetak tokoh-tokoh yang luar biasa. Namun pertanyaannya, mengapa manusia zaman sekarang tidak bisa dikerasi seperti itu? Karena apa? Apa karena telah terjadi perubahan pola pikir atau sikap dari manusia yang secara global dan menyeluruh seperti itu secara tidak sadar? Wkwk mboh aku ngomong opo, ra ngerti

STUDI KASUS!

Beberapa contoh sikap seorang dosen era lama yang sulit masuk dan dicerna logika gw ialah

ketika seorang dosen mengajar, lalu bertanya kepada mahasiswanya [mungkin nge-tes tingkat pemahaman], lalu ketika si mahasiswa menjawab, maka yang terjadi, segala bentuk, kreasi, dan ungkapan hasil pemahaman si mahasiswa akan disalahkan tanpa pertimbangan apapun! Why? What’s wrong? Dan ketika salah seorang mahasiswa ditunjuk dan disuruh menjawab pertanyaan dan ternyata dia malah bingung karena belum paham dan akhirnya diam, justru lebih parah, tidak hanya disalahkan namun juga dapat bonus caci maki. Kalau pun ada mahasiswa yang mencoba menjawab dengan jawaban yang agak sedikit bagus, tetap, perlakuan yang didapat tidak jauh lebih baik dari dua mahasiswa sebelumnya. Yah.. mungkin beliau menginginkan jawaban yang perfect, yang terbaik, dan beliau menuntut mahasiswa agar menjadi cerdas, tidak malas-malasan, rajin membaca buku dan literatur apapun, tapi... yang terakhir ini, boro-boro baca buku, anak zaman sekarang memang kebangetan juga menurutku [aku pisan!], coba, survey, berapa kali mereka membaca buku dalam seminggu? Tidak! Berapa kali mereka membuka buku dalam sehari? Berapa menit mereka membaca buku dalam sehari? Atau lebih parah, mereka pernah nyentuh buku sehari berapa kali? Ouch!

Lebih heran lagi, kadang-kadang, mahasiswa yang bertanya justru dipermasalahkan, lah, la mahasiswa kan memang masih bodoh dan tidak tahu, makanya sekolah lalu bertanya, tapi justru mengapa yang diterima ialah jawaban semprot dan caci-maki? Alasannya, beliau menilai pertanyaan yang terlontar sangat tidak berkualitas untuk jenjang sarjana. Ah... gw semakin nggak ngerti

Nah! Dari kasus itu, dapat disimpulkan, bagaimanapun sikap mahasiswa, baik diam, menjawab, maupun memberikan jawaban yang dirasa terbaik, atau dalam hal bertanya, maka respon yang pasti didapat ialah tetap salah dan bonus caci maki. Pripun? Kalau begitu caranya ya... gw nggak heran, kalau dipertemuan selanjutnya, ruang kelas akan kehilangan setengah penduduknya, atau lebih parah, kosong melompong, minggat semua peserta didiknya. Siapa juga yang mau belajar dengan perlakuan seperti itu? Lalu bagaimana dengan sikap yang seharusnya ditunjukkan oleh seorang pengajar yang bertugas mencerdaskan bangsa? Mentransfer ilmu dengan cara terbaik agar ilmu itu sampai dengan selamat dan utuh ke dalam pikiran peserta didiknya? Sikap mengayomi, sabar, telaten, dan sejenisnya? Gw sama sekali nggak menemukan itu

LAGI,

Ketika dosen yang telah selesai mengajar lalu memberikan tugas kepada mahasiswa [tugas ditujukan agar mahasiswa belajar, oke setuju, masuk Pak Eko], beberapa dosen justru menunjukkan sikap yang juga kontradiksi. Dosen adalah tempat mengadukan segala pertanyaan yang relevan, bukankah seharusnya seperti itu? Tapi nyatanya, ada yang tidak seperti itu, ada yang bertanya malah disemprot, hadeh. Begini, sikap tidak mau tahu! Itu, kadang kutemukan dosen yang memiliki sikap yang tidak mau tahu dengan mahasiswanya, pokoknya tugasnya itu, harus dikerjakan dan dikumpulkan minggu depan, dan harus benar 1 juta persen! TITIK! Padahal, nyatanya seluruh mahasiswa tidak ada yang paham sedikitpun ilmu yang diajarkan beliau. Kenapa tidak paham? Balik ke kasus sebelumnya, proses belajar yang penuh bonus caci maki sana-sini sudah pasti akan membuat risih dan malas para mahasiswa untuk belajar, alhasil, ilmu yang ditransfer tidak sampai ke otak dan menjadi tidak paham

LAGI, [terakhir]

Tugas yang tidak tanggung-tanggung. Coba dirangkai dan diurutkan dari kasus awal sampai terakhir ini, mari, sikap mahasiswa baik yang diam, menjawab, atau bertanya justru dipermasalahkan dan dicaci maki, sehingga menyebabkan mahasiswa ogah-ogahan masuk kelas apalagi mengikuti kegiatan belajar, pasti malas. Hasilnya, tidak ada yang mengerti pelajaran yang ditempuh dan dipelajari. Selanjutnya, diperparah dengan tugas yang meluncur rutin setiap minggu plus kesulitan tugas yang luar biasa. Bagaimana cara mahasiswa ini menggarap semua itu? Ehehe...

Maka yang terjadi akan seperti ini, dosen tetap seperti biasa, menggugurkan kewajibannya (ngajar), lalu memberi tugas, dan tidak mau tahu dan marah-marah, pokoknya tugas harus selesai tepat waktu dan benar. Sedangkan mahasiswanya, semakin hari semakin jengkel, malas, dan bisa jadi menaruh rasa tidak suka dengan seorang dosen itu. Semakin sulit mengerjakan tugas, semakin sering kena semprot, dan akhirnya stress atau lebih parah menjadi depresi

Hm... siapa yang harus disalahkan? Sistem mengajar yang terlalu keras yang diterapkan dosen atau memang dasar mahasiswanya yang dableg dan terlalu malas?

Aku tidak tahu, yang jelas, waktu telah merubah segalanya, dan disadari atau tidak, segalanya juga terpaksa harus menyesuaikan juga, mau tidak mau...

Hm... tulisan ini hanya opini dan mungkin juga unek-unek di kepala yang seharusnya jika dituliskan bisa terurai lebih banyak dari ini

Pengajar yang ada dikepalaku ialah seseorang yang memiliki sikap dan sifat seperti seorang ibu saat sedang mengasuh anaknya yang masih balita, seperti itu

Sekian, mohon maaf, dan terima kasih

Salam coret!

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

By: NZR
Keyakinanku tetap seperti ini, bagaimanapun seorang pengajar, mereka tetap harus dimuliakan dan dihormati
Anggap mereka sama seperti kedua orang tua
*aku tidak membicarakan pengecualian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar